Skip to main content

Menjawab Suksesi Kepemimpinan

Perputaran waktu telah mengahantarkan kita pada sebuah suksesi kepemimpinan. Bak sebuah drama, negeri ini telah mencapai klimaksnya dalam sebuah alur certia. Sebuah kisah tentang pencarian figur pemimpin yang nantinya menjadi nahkoda untuk menjalankan sebuah kapal bernama “Indonesia”.
Dalam islam, melahirkan seorang pemimpin merupakan suatu amalan yang amat penting yang harus diberi perhatian besar. Hal ini dkarenakan fungsi kepemimpinan dalam islam berdasarkan Siyasah Syar’iyyah adalah Hirasatud Din (memelihara dan mengajarkan agama) dan Siyasatud Dunya (merancang strategi untuk kebaikan duniawi). Oleh karena tulah, membangun sebuah bangsa harus diawali dengan pemberian amanah kepada orang yang telah selesai dengan dirinya, sehingga ia pun dapat optimal menyebarkan kebaikan di tengah-tengah problematika umat.
Sayangnya, label “suksesi kepemimpinan” yang digadang-gadang untuk negeri ini belum sepenuhnya mendeskripsikan definisi kata “suksesi kehidupan”. Banyak orang yang berkata, pergantian figur pemimpin mungkin belum sepenuhnya menjadi jawaban untuk perganatian nasib bangsa ini untuk menjadi lebih baik. Masih banyak diantara kita yang masih terbelenggu. Mereka masih terjajah oleh kepapahan, ketidakmampuan dan tirani kemiskinan yang berujung pada kompleksitas problematika bangsa ini. 
Hari ini, miris hati ketika masih kulihat dan kudengar jelas dianatara euforia pesta rakyat, namun masih saja ada orang yang acuh dan tak peduli dengan hajatan agung negeri ini. Ya, mungkin karena telah bosan, atau bahkan mereka telah kehilangan harpan untuk sebuah perubahan akan nasib mereka di negeri yang katanya tanah surga ini. Belum lagi dengan sikap beberapa pemuda muslim yang beranggapan bahwa sistem pemilu bukanlah cara yang tepat untuk memilih, karena anggap mereka sistem demokrasi itu tidak sesuai dalam ajaran islam, dan alhasil merekapun memutuskan untuk tidak ikut andil dalam pemilu.
Ya, mungkin pendapat tersebut benar. Namun biar bagaimanapun negara kita bukanlah negara yang menganut sistem islam secara mutlak, karena memang negara kita bukanlah negara islam seperti di Arab sana. Mau tidak mau, nyatanya negeri ini masih menggunakan pemilu untuk menentukan siapakah pemimpin yang akan mengemban amanah untuk memimpin bangsa ini. Secara tidak langsung, orang-orang yang memegang kendali kebijakan pemerintahan kita tentu adalah orang-orang pilihan kita. Lantas, jika kita tidak memperjuangan orang-orang yang memegang teguh syari’at islam agar dapat  ikut andil dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, bagaimana jika kursi-kursi tersebut diduduki oleh orang-orang yang justru hendak menghancurkan syari’at islam? 
Walau pada dasarnya enggan mengakui, namun mungkin semua ini adalah benar adanya. Nyatanya, ketidakadilan supremasi hukum memang semakin mengejawantahkan realitas hukum rimba, yang berkuasa maka dialah yang menang. Bahkan terkadang hukum negeri ini bak sebuah paku, tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Tak hanya itu, ternyata masalah negeriku semakin pahit, sepahit rasa ketidakpedulian. Ketidakpedulian dari orang-orang kaya kepada mereka yang miskin serta ketidakpedulian dari mereka yang miskin untuk berusaha optimal mengkreatifkan daya kreasi sehingga menjadi sekumpulan orang pesimis dengan nurani terkikis. Belum lagi jika kita mampu melihat bangsa kita yang tengah dijajah, dijajah oleh paham dan ideologi luar yang semakin mengombang-ambingkan negeri ini, dan akhirnya perpecahanlah yang mewarnai keberagaman kami. Lihat saja, Bhineka Tunggal Ika kini bagaikan hanya menjadi simbol  kebangsaan. Keragaman etnis, suku, budaya dan agama masih belum dapat menyatukan Indonesia dalam satu tujuan.
Dalam perspektif islam itu sendiri, suksesi kepemimpinan kita masih memiliki sejumlah kecemasan dalam transisi demokrasi yang kita jalani. Tapi, kecemasan kita mestinya jauh lebih ringan untuk diatasi. Persoalan besar kita bukanlah masalah ideologi yang kerap merobek persatuan, tapi pada kualitas kepemimpinan, budaya politik, dan penegakan hukum yang belum maksimal. Meningkatnya kasus-kasus intoleransi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas yang belakangan sering terjadi adalah buah dari kepemimpinan yang lemah dan penegakan hukum yang tidak bekerja. Kasus-kasus korupsi yang seperti tanpa henti menghiasi media massa kita adalah akibat dari perilaku politik yang culas.
Tantangan demokrasi di Indonesia bukan apakah partai-partai berideologi Islam mampu mengubah dasar negara menjadi negara agama, tapi bagaimana partai-partai di negeri ini, yang Islam maupun yang bukan, memiliki integritas dan mampu menjadi wadah bagi perekrutan pemimpin negara dan wakil rakyat seperti yang diharapkan. Di tengah ramainya tokoh-tokoh Islam yang terjerat kasus korupsi, pembicaraan ideologi tidak lagi relevan.  Tantangan terberat partai-partai Islam di Indonesia bukanlah menegakkan Syari’ah dan menerapkan hukum Islam, tapi memastikan bahwa para pemimpin mereka dan anggota-anggotanya tidak tergoda untuk mencuri sebelum hukum potong tangan kepada pencuri diterapkan.
Dalam dunia politik, kita menyaksikan munculnya partai-partai Islam dengan corak baru. Didesak oleh situasi yang terus berubah, partai-partai ini mendifinisikan kembali jatidirinya yang berbeda dari partai-partai serupa pada tahun 1950an. Tantangan terbesar partai-partai Islam kini bukanlah bagaimana mendirikan negara Islam atau menerapkan Syari'ah, tetapi bagaimana tujuan akhir bernegara bisa dicapai. Tujuan akhir bernegara (termasuk negara Islam), saya kira, sama, yakni mewujudkan keadilan, menghadirkan kesejahteraan, dan menciptakan kenyamanan.
Orang memilih partai bukan lagi berdasarkan preferensi agama atau aliran, tapi sejauh mana partai-partai itu bisa memenuhi kebutuhan nyata hidup mereka. Karena alasan ini, beban yang dipikul pengelola partai-partai berlandaskan agama, sejatinya lebih berat ketimbang beban yang dipikul pengelola partai-partai sekular. Hal ini karena partai-partai Islam mengusung dua klaim besar sekaligus, yakni menjalankan misi agama yang mulia dan menegakkan cita-cita politik yang luhur.
Persoalan besar yang melanda sebagian umat Islam di mana-mana adalah keinginan untuk menerapkan keyakinan mereka untuk semua orang. Tuntutan penerapan hukum Islam (Syariah) tidak hanya terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim saja, tapi juga di negara-negara Barat yang mereka anggap “kafir.” Inggris dan Australia adalah dua negara di mana sebagian minoritas Muslimnya menuntut diterapkannya aturan Syariah bagi warga Muslim di sana. Tentu saja, usulan ini mendapat protes dan reaksi keras.  Ini adalah tantangan besar kaum Muslim di dunia modern. Keinginan untuk menjadi pemeluk agama yang baik kerap berbenturan dengan aturan main dalam negara modern. Loyalitas mereka diuji antara memilih ajaran agama atau patuh pada konstitusi negara.
Secara umum, pada dasarnya kaum Muslim sudah tidak lagi memiliki persoalan dengan demokrasi. Kontroversi apakah Islam kompatibel dengan demokrasi tidak lagi menjadi isu besar yang diperdebatkan, seperti lima atau enam dekade silam. Bagi mereka, masalahnya kini bukanlah apakah Islam cocok dengan demokrasi, tapi bagaimana demokrasi bisa digunakan untuk mendukung aspirasi dan cita-cita politik mereka. Bagi mereka, demokrasi bukanlah persoalan, tapi justru sebuah jawaban yang bisa digunakan untuk memperjuangkan agenda politik mereka.
Tapi, politik selalu tidak mudah. Yang terjadi justru sebaliknya. Partai-partai Islam dipaksa untuk beradaptasi dengan keadaan. Para politisi Islamis harus menurunkan tuntutan mereka dan menyesuaikannya dengan kenyataan yang mereka hadapi. Berbagai studi tentang hubungan Islam dan demokrasi menunjukkan bahwa demokrasi tidak membuat kelompok-kelompok Islamis semakin radikal, tapi justru membuat mereka semakin moderat dan pragmatis.
Kecenderungan itu sebetulnya sudah terbukti di Indonesia. Ekstrimisme agama muncul bukan karena kelompok-kelompok Islam bebas mengekspresikan keyakinan mereka, tapi justru karena mereka dilarang, dimusuhi, dan ditekan. Salah satu persoalan yang kita hadapi dalam transisi menuju demokrasi ini adalah konflik-konflik dan ketegangan yang kerap terjadi dalam masyarakat. Sikap-sikap intoleran dan permusuhan kepada suatu kelompok merupakan kendala utama dalam membangun demokrasi yang beradab.
Agama, sebagai salah satu pembentuk budaya, memainkan peran penting dalam menentukan hitam-putihnya demokrasi kita. Budaya kewargaan menuntut adanya pemahaman dan penafsiran agama yang sejalan dengan cita-cita demokrasi.
Tantangan terbesar demokrasi dalam masyarakat Muslim bukanlah mengajak mereka mendirikan partai, menyelenggarakan Pemilu, dan mengisi parlemen dengan wakil-wakil rakyat. Tetapi, bagaimana menumbuhkan nilia-nilai kewargaan (civic values) di tengah budaya yang miskin akan nilai-nilai itu. Tantangan terbesar demokrasi adalah bagaimana mengajak kaum Muslim untuk bersikap toleran di tengah budaya intoleransi, bagaimana mengajak mereka untuk menghormati hak-hak minoritas di tengah rasa percaya diri berlebih sebagai mayoritas.
Banyaknya problematika yang dihadapi melahirkan banyak pula pertanyaan tentang makna suksesi kepemimpinan. Dimana harapan baru itu berada? Dimana perubahan dan perbaikan nasib rakyat dapat ditemui? Dimana para generasi pembaharu negeri ini? Apakah masih dapat kita sebut dengan sebuah kemenangan ketika kita telah menemukan pemimpin baru namun semua masalah dan tantangan negeri ini nantinya tak mendapatkan jalan terang? Apakah masih dapat kita sebut dengan sebuah kemenangan ketika paham dan ideologi luar mampu menggerogoti keberagaman kita yang berujung pada sebuah perpecahan dan penindasan?
Sejatinya, setiap orang punya pilihan dalam mencapai dan mengisi suksesi kepemimpinan ini dengan cara apa pun sepanjang tidak keluar dari rel hirarki, terlebih lagi bagi pemuda muslim yang harusnya mampu berdiri di garda dan lini terdepan untuk Indonesa. Tapi bagaimana mengaplikasikannya? Terkadang sulit tapi bukan berarti tidak mungkin.  Pada dasarnya, jangan terus berteori namun tak ada aksi nyata untuk merealisasikan semuanya! Sehingga terkesan sebagai retorika di penghujung senja, hanya sekadar retorika tidak bermakna sesaat setelah janji dan deklarasinya terucap pada dunia.
Oleh karena itulah, kita harus menggalakkan lagi gerakan pembaruan Islam yang dalam beberapa tahun terakhir mulai meredup. Sebuah pembaruan yang harusnya mampu menjawab persoalan dan tantangan yang dihadapi kaum Muslim kontemporer.

 Surakarta, 31 Oktober 2014
12:09
Cos Ma'arif H.L
 

Comments

Popular posts from this blog

Urgensi Lembaga Legislatif dalam Dinamika Politik Kampus

Seiring dengan makin dikenalnya istilah student governence di lingkungan kampus, tentunya akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang apa sebenarnya student governance atau yang kita artikan sebagai pemerintahan mahasiswa. Disamping itu, pengkajian terhadap setiap tugas, peran dan fungsi dari tiap-tiap lembaga tersebut wajib kita ilhami dengan baik, sehingga sistem baku yang telah dibentuk dalam lingkungan kampus ini dapat berjalan secara dinamis dan sinergis dalam mewujudkan pemerintahan mahasiswa. Layaknya sebuah pemerintahan negara, “organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa”. Berangkat dari landasan tersebut, tentunya dapat kita simpulkan bahwa prinsip “dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa” merupakan prinsip dasar dalam kehidupan mahasiswa. Untuk itu diperlukan suatu tatanan sistem organisasi mahasiswa untuk menjalankan prinsip-prinsip tersebut. Sistem student governe...

Yaa Muqollibal Qulub, Tsabit Qolbii 'ala Diinik

Ya, Rabb.. Bersama senja, Kau ketuk lagi hati ini. Hati yang tengah mencari arti dalam jalan yang sunyi. Kau getarkan kembali hati ini, ketika ia tengah nyaris mati tak berdetak. Kau hadirkan lagi memori itu, saat kami berada pada satu garis perjuangan yang sama. Kau ingatkan kembali pada sebuah janji yang sempat teruntai bersama tangis air mata dan doa. Yaa, Rabb. Tanpa kusampaikan lewat barisan kata pun, aku yakin, Kau mengerti apa yang ditanyakan oleh segumpal daging yang ada didalam raga ini. Aku mencintai Mu, namun bagaimana dengan ridho orang tua ku? Hendak kemana aku mencari jawaban atas kegelisahn hati ini? Aku ingin berjalan dijalan Mu. Sungguh, benar-benar ingin… Namun sungguh, aku tak tahu, hendak ku langkahkan pada persimpangn jalan yang mana langkah kaki ini. Aku hanya takut, aku salah dalam mengambil keputusan. Ketika jalan ini kau buka dengan lapang untuk menjadi jalanku untuk lebih mudah menggapai cintaMu, justru aku sia-siakan dan tutup rapat karena ketidaktah...

PPG Jalur Instan Mencetak Guru Profesional (?)

Hmm, lagi-lagi pingin membahas masalah PPG. Walaupun masalah PPG ini sudah pernah saya bahas di tulisan terdahulu dalam blog ini, boleh deh kita bahas lagi. Mumpung lagi panas :) Berbicara mengenai pengahapusan akta 4 per Juni 2014 bagi mahasiswa FKIP UNS, pasti erat hubungannya dengan isu PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang menjadi momok dan pembicaran panas di kalangan mahasiswa FKIP. PPG merupakan pendidikan lanjutan bagi setiap mahasiswa lulusan Kependidikan maupun Non   Kependidikan yang ingin tersertifikasi menjadi guru profesional.  Menurut wacana, lulusan mahasiswa FKIP mulai Juni, 2014 tidak lagi mendapatkan akta 4 sebagai syarat mereka untuk mengajar. Lantas bagaimanakah nasib para lulusan FKIP di tahun 2015 dan setelahnya? Apakah cita-cita luhur mereka untuk dapat menjadi seorang pendidik dan mengabdi pada negeri harus pupus? Ternyata pemerintah menjawab tidak. Dengan dihapusnya akta 4, pemerinah telah menyiapkan gantinya dengan mengeluarkan kebijaan unt...