Skip to main content

PPG Jalur Instan Mencetak Guru Profesional (?)



Hmm, lagi-lagi pingin membahas masalah PPG. Walaupun masalah PPG ini sudah pernah saya bahas di tulisan terdahulu dalam blog ini, boleh deh kita bahas lagi. Mumpung lagi panas :)

Berbicara mengenai pengahapusan akta 4 per Juni 2014 bagi mahasiswa FKIP UNS, pasti erat hubungannya dengan isu PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang menjadi momok dan pembicaran panas di kalangan mahasiswa FKIP. PPG merupakan pendidikan lanjutan bagi setiap mahasiswa lulusan Kependidikan maupun Non  Kependidikan yang ingin tersertifikasi menjadi guru profesional. 

Menurut wacana, lulusan mahasiswa FKIP mulai Juni, 2014 tidak lagi mendapatkan akta 4 sebagai syarat mereka untuk mengajar. Lantas bagaimanakah nasib para lulusan FKIP di tahun 2015 dan setelahnya? Apakah cita-cita luhur mereka untuk dapat menjadi seorang pendidik dan mengabdi pada negeri harus pupus? Ternyata pemerintah menjawab tidak. Dengan dihapusnya akta 4, pemerinah telah menyiapkan gantinya dengan mengeluarkan kebijaan untuk melangsungkan program PPG. Namun ternyata, kebijakan pemerintah ini dirasa kurang adil dan bijak bagi para mahasiswa FKIP. Banyak hal yang tidak mampu menjawab permasalahan penghapusan akta 4 tersebut, dan justru menambah beban dan permasalahan bagi nasib para calon pendidik negeri ini. Tentu tidak heran jika kebijakan pemerintah ini membuat mahasiswa harus angkat bicara, melakukan sebuah aksi untuk mendapatkan keadilan, khususnya bagi mahasiswa FKIP seperti kami ini.

Sebelum saya jelaskan panjang lebar mengapa saya kurang setuju dengan program PPG tersebut, mungkin akan lebih baik jika saya jelaskan terlebih dahulu garis besar mengenai program PPG dari pemerintah ini. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan di acara Audiensi PPG siang ini, 09 Juni 2014, Pukul 13.00 WIB, di Aula Gedung F UNS Surakarta,  PPG merupakan program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan  S-1 Kependidikan dan S-1 / D-IV Non Kependidikan agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan . Hal ini dimaksudkan dengan tujuan agar lulusan PPG tersertifikasi menjadi Guru Profesional, dimana sertifikasi ini menjadi salah satu syarat wajib bagi para lulusannya untuk dapat mengajar dan menjadi seorang guru.

Pendidikan Profesi Guru ini hanya ditempuh kurang lebih selama 1 semester bagi PGSD/PGPAUD dan 2 semester  untuk PGSMTP/PGSMTA. Dalam kurun waktu tersebut model perkuliahan dilaksanaan dengan metode workshop SSP dan PPL. 

Ok, setelah mengulas secara garis besar apa yang dimaksud dengan PPG, dalam tulisan ini akan saya paparkan beberapa alasan mengapa sampai saat ini saya masih ragu-ragu dan tidak setuju dengan kebijakan program pemerintah tersebut.

Menurut saya, program ini merupakan sebuah jalan pintas yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencetak guru profesional yang instan. Guru profesional instan? Ya, bagaimana tidak instan, bayangkan saja, ilmu keguruan dan pendidikan yang biasanya dipelajari oleh mahasiswa FKIP selama 8 semester hanya mereka tempuh dalam kurun waktu 1-2 semester saja. Saya akui, program ini memang efisien waktu bagi mereka yang notabene tidak bermula pada bidang pendidikan, namun yang perlu digaris bawahi disini adalah efisien belum tentu efektif! Coba bayangkan saja, jika ilmu tersebut mampu ditempuh dalam kurun waktu 2 semester saja, mengapa mahasiswa FKIP harus menempuhnya dalam kurun waktu 8 semsester? Apakah kompetensi mengajar untuk lulusan 2 smeseter dapat disetarakan dengan kompetensi mengajar yang ditempuh selama 8 semester? Bukankah untuk membentuk jiwa dan kepribadian seorang pendidik tidak dapat ditempuh hanya dengan waktu yang singkat?

Apakah pemerintah sudah benar-benar mantab dan yakin dengan kualitas lulusan mahasiswa PPG yang sebelumnya sama sekali belum pernah mencicipi ilmu pendidikan? Atau justru jangan-jangan pemerintah masih merasa ragu-ragu dengan kualitas mahasiswa FKIP dalam mendidik generasi muda bangsa ini? Ya memang, pengetahuan akademik mahasiswa FKIP tidak sedetail mahasiswa Non-FKIP, kita ambil contoh Ilmu Sains. Kami tahu, Ilmu pengetahuan Sains kami masih jauh bila dibandingkan dengan ilmu pengetahuan Sains mahasiswa MIPA. Ilmu mereka tentu lebih detail, rinci dan mendalam, kami yakin itu. Namun, coba kita tilik kebelakang lagi, guru yang besar bukanlah guru yang hanya memiliki kecerdasan tingkat dewa ataupun ilmu setinggi Gunung Semeru. Namun hal yang jauh lebih penting lagi adalah bagaimana peran guru dalam menjadi figur pengajar dan pendidik. Menjadi guru tidak hanya sebatas mesalah mentransfer ilmu saja (transfer of knowladge), namun ia haruslah menjadi figur seorang pendidik. Seorang pendidik adalah orang yang mampu menanamkan nilai moral dan nilai-nilai kehidupan kepada para siswa didiknya, yang nantinya akan menjadi bekal bagi mereka untuk berdikari dalam menyelesaikan masalah kehidupan mereka sendiri. 
 
Bukannya ingin menyindir pihak manapun, tetapi sampai hari ini mungkin saja alasan yang menjadikan pendidikan di Indonesia belum mencapai titik maksimal berawal dari masalah ini. Masih banyak guru Indonesia yang belum mampu mendidik dengan sempurna dikarenakan pendidikan mereka basic nya memang bukan dipersiapkan untuk menjadi seorang pendidik. Apapun yang instan itu tak akan lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang mengalami sebuah proses yang mantab dan benar.

Disisi lain, jika dilihat dari kacamata mahasiswa dari ranah pendidikan, menurut saya program terlalu bertele-tele, terlalu lama dan tidak efisien. Didalam program PPG tersebut model pembelajaran yang dilakukan dengan metode workshop dan PPL. Buankah PPL sudah pernah kita pelajari saat kita duduk di bangku perkuliahan S1 FKIP. Lantas mengapa kita harus mempelajarinya kembali? Sebagai pengukuhan agar kita menjadi guru yang lebih profesinal? Namun bukankah nantinya mahasiswa lulusan PPG dari non kependidikan juga akan diakui sebagai guru profesional hanya dengan mendapatkan pengalaman sekali PPL saja di PPG? Mengapa kita mahasiswa FKIP harus menempuh dua kali PPL untuk mendapat gelar Guru Profesional. Jika pihak lain mampu menyandang gelar sebagai guru profesional hanya dengan sekali proses saja, mengapa kita sebagai mahasiswa FKIP diwajibkan untuk menempuh dua proses yang sama untuk mendapatkan gelar yang sama dengan lulusan PPG dari Non Kependidikan? Sungguh kurang efisien!

Selain itu, PPG dengan sistem kuota tentu terdengar tidak adil. Jika memang pemerintah ingin benar-benar melaksanakan program PPG, mengapa kebijakan tersebut tidak dibuat seperti sistem coas yang ditempuh para mahasiswa fakultas kedokteran yang memang seluruh mahasiswanya wajib menempuhnya. Dengan diberlakukannya sistem kuota tersebut maka apabila hendak mengikuti PPG pasti ada pula seleksi masuk yang artinya para mahasiswa berbasic kependidikan akan bersaing pula dengan mahasiswa ilmu murni. Lebih baik lagi kalau program PPG dimasukkan kedalam kurikulum saat kita duduk di bangku kuliah S1 FKIP,  sepertinya akan lebih efisien dan efektif.

Dilihat dari faktor lain, tidak semua mahasiswa berasal dari keluarga bangsawan maupun jutawan. Jika dilihat dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan lagi oleh setiap mahasiswa untuk menempuh program PPG ini, sudah dapat diprediksi jika angka pengangguran terdidik bangsa ini akan semakin meningkat, terutama untuk sarjana pendidikan. Bagaimana tidak, bagi mahasiswa lulusan FKIP yang telah berkompeten untuk menjadi seorang pendidik, dan yang seharusnya telah mampu mengabdikan diri mereka pada bangsa ini, namun karena ketidakmampuannya untuk melanjutkan pendidikan pada program PPG karena faktor ekonomi, maka mereka hanya akan terlahir sebagai pengangguran terdidik di negeri ini.  Ah, lagi-lagi negeri ini harus penuh dengan para pengangguran, lagi-lagi pemerintah menyia-nyiakan para generasi hebatnya yang ingin ikut berkontribusi untuk melakukan perbaikan pada negeri ini. Ah, sayang!

Berdasarkan beberapa pemaparan ketidaksetujuan saya mengenai program PPG tersebut, selalu saja ada pertanyaan menganai sejauh mana urgensi pelaksanaan PPG ini? Jika memang pemerintah ingin benar-benar memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia dari segi pendidiknya, mengapa program PPG ini juga dapat diperuntukkan untuk mahasiswa Non Kependidikan? Apakah ada krisis kepercayaan dari pemerintah untuk para calon pendidik dari lulusan FKIP untuk memperbaiki pendidikan negeri ini? Apakah lulusan Non Kependidikan dinilai jauh lebih berkompeten untuk menjadi seorang pendidik bila dibanding lulusan mahasiswa FKIP? Atau karena alasan bahwa kewajiban untuk menjadi seorang pendidik tidak hanya diperuntukan pada lulusan kependidikan saja, namun juga diperuntukan untuk semuanya termasuk lulusan Non Kependidikan. Contohnya seperti dosen yang mampu dijangkau oleh semua lulusan, baik itu dari Kependidikan maupun Non Kependidikan. Jika alasannya memang demikian, mengapa sedari dulu pemerintah harus membuka FKIP yang dibentuk dengan tujuan untuk mempersiapkan mahasiswa sedini mungkin untuk menjadi pendidik yang profesional? Jika memang pemerintah bersikeras masih berpendapat bahwa untuk menjadi pendidik (guru) merupakan hak setiap lulusan, mengapa sedari dulu pemerintah tidak men-generalisasikan saja pilihan program studi yang ada (tanpa harus membuka FKIP), baru setelah itu jika ada yang berminat untuk menjadi guru, barulah mereka menempuh pendidikan seperti PPG ini? Ya walaupun cara ini pun sebenarnya tidak akan maksimal untuk mencetak guru berkualitas, karena mereka tidak dididik untuk menjiwai profesi guru dari awal pendidikan program studi mereka. Namun minimal kan tidak ada fakultas yang dirugikan seperti saat ini.

Selain itu, jika memang pemerintah ingin memperbaiki kualitas pendidik Indonesia, mengapa pelaksanaan PPG tersebut harus menggunakan sistem kuota yang terbatas? Mengapa pula PPG tidak dimasukkan saja kedalam kurikulum saat kita berada di bangku S1? Intinya, mengapa pemerintah lebih memilih memperbaiki sistem pendidikan ini dengan melibatkan lulusan Non Kependidikan? Mengapa tidak dengan jalan memperbaiki sistem dan kualitas untuk lulusan Kependidikan terlebih dahulu? Menurut saya, bukankah lebih efektif?

Hmm, sebenarnya masih ada banyak pertanyaan untuk kebijakan pemerintah yang satu ini. Sebuah kebijakan yang kurang (tidak) membawa solusi, namun justru semakin memperumit masalah kami. Lantas, apakah PPG dapat dipercaya sebagai jalur instan untuk mencetak  guru profesional yang tepat? Sudah tepatkah kebijakan ini? #ThinkAgain!

#Setiap orang punya sudut pandang masing-masing. Setuju silahkan, tidak setuju monggo-monggo saja.Tapi untuk kritik dan saran saya buka selebar-lebarnya :) Ini opini saya, bagaimana opinimu? ^_^

Surakarta, 09 Juni 2014
16:02
Cos Ma’arif H. L

Comments

  1. PPG itu singkatan dari Program Pemerintah di pendidikan Guru goblok, seharusnya PPG itu khusus untuk mereka2 yang berminat jadi guru jadi tak ada kesempatan bagi sarjana non kependidikan. harusnya Program Pemerintah di pendidikan Guru goblok jauh sebelum pemberlakuan PPG ini mahasiswa calon S.Pd/guru sudah mengikuti program Goblok pemerintah dipendidikan ini. contoh kalau PPG diberlakukan tahun 2014 berarti sipencetak S.Pd 4/5tahun sebelumnya sudah berprogram PPG versi pemerintah dipendidikan Guru goblok, hal hasil sarjana2 kependidikan yang tamat tahun 2014 dan sebelumnya tidak dirugikan, ingat profesional seorang guru bukan ditentukan oleh pendidikan di PPG tapi toh pengalaman menentukan survey menunjukan kematangan seorang guru ditentukan kematangan mengajar dan pengetahuan itu buat setiap masa. sekali lagi pemerintah jangan memaksakan kehendak, tolong bijaksana perhatikan itu nasip mereka2 yang tamat sebelum 2014,2013, 2012, 2011, 2010, 2009 dst dan ingat pemerintah tak menerima cpns guru selama 2/3tahun yg berlalu. demikian semoga jadi perhatian bagi petinggi kependidikan yang berkompeten,ingat semua mereka punya hak yang sama kecuali sarjana non kependidikan camkanlah kalau seseorang mau jadi guru ya melalui pendidikan kependidikan bukan pendidikan instan bisa jadi melalui persaingan yang tidak2 sangat jauh dari pri keadilan alias tes tidak murni

    ReplyDelete
  2. Jgn terlalu meremehkan lulusan s1 non kependidikan utk mengajar..... justru keilmuan non kependidikan lbh dr lulusan kependidikan. jd ppg selama 1 - 2 semester sangat cukup utk mendukung ilmu kependidikan (strategi mengajar dll.)

    ReplyDelete
  3. mmgx yg dipelajari selama 4 thn di jurusan kependidikan adalah mata kuliah pendidikan semua....? cuma strategi mengajar, ppl, psikologi pendidikan, dll..????? tdk kan..????
    MK yg baxk kan tentang keilmuanx, jd utk non kependidikan kalau mengikuti ppg 1 - 2 semester yg berisi MK kependiidkan ya sdh cukuplah solx keilmuanx toh sdh lbh baik dr yg kependidikan!!
    klo dirinci kurag lebih sperti ini :
    1. jurusan kependidikan ( 4 tahun = keilmuan + kependidikan
    2. Non Kependidikan ( 4 tahun = keilmuan )

    nah klo non kependidikan belajar ilmu kependidikan selama 1 -2 semeter melalui ppg..... ya kan sdh SANGAT LAYAK JADI GURU, justru keilmuanx lbh OK secara hitug2an mata kuliah selama kuliah 4 tahun.

    ReplyDelete
  4. tidak masalah kalau lulusan Non kependidikan juga diberi kesempatan untuk mengikuti program PPG
    yang menjadi pertanyaannya kenapa lulusan keguruan juga harus ikut program PPG

    ReplyDelete
  5. lebih adil lagi, udah yang FKIP gak usah PPG, yang murn aja PPG, adil kan, gitu AJA KOK REPOT, GOOOBLOK SEMUA yang buat peraturan

    ReplyDelete
  6. tentang PIGP dong, masalah yang ada di PIGP apa

    ReplyDelete
  7. seharusnya pemerintah sudah saatnya pakai prior knowledge

    ReplyDelete
  8. klo dr dua jurusan fkip ato non fkip ikut ppg rician ny sperti ini :
    1. jurusan kependidikan ( 5 tahun = keilmuan + 2x kependidikan
    2. Non Kependidikan ( 5 tahun = keilmuan + kependidikan )


    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Urgensi Lembaga Legislatif dalam Dinamika Politik Kampus

Seiring dengan makin dikenalnya istilah student governence di lingkungan kampus, tentunya akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang apa sebenarnya student governance atau yang kita artikan sebagai pemerintahan mahasiswa. Disamping itu, pengkajian terhadap setiap tugas, peran dan fungsi dari tiap-tiap lembaga tersebut wajib kita ilhami dengan baik, sehingga sistem baku yang telah dibentuk dalam lingkungan kampus ini dapat berjalan secara dinamis dan sinergis dalam mewujudkan pemerintahan mahasiswa. Layaknya sebuah pemerintahan negara, “organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa”. Berangkat dari landasan tersebut, tentunya dapat kita simpulkan bahwa prinsip “dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa” merupakan prinsip dasar dalam kehidupan mahasiswa. Untuk itu diperlukan suatu tatanan sistem organisasi mahasiswa untuk menjalankan prinsip-prinsip tersebut. Sistem student governe...

Yaa Muqollibal Qulub, Tsabit Qolbii 'ala Diinik

Ya, Rabb.. Bersama senja, Kau ketuk lagi hati ini. Hati yang tengah mencari arti dalam jalan yang sunyi. Kau getarkan kembali hati ini, ketika ia tengah nyaris mati tak berdetak. Kau hadirkan lagi memori itu, saat kami berada pada satu garis perjuangan yang sama. Kau ingatkan kembali pada sebuah janji yang sempat teruntai bersama tangis air mata dan doa. Yaa, Rabb. Tanpa kusampaikan lewat barisan kata pun, aku yakin, Kau mengerti apa yang ditanyakan oleh segumpal daging yang ada didalam raga ini. Aku mencintai Mu, namun bagaimana dengan ridho orang tua ku? Hendak kemana aku mencari jawaban atas kegelisahn hati ini? Aku ingin berjalan dijalan Mu. Sungguh, benar-benar ingin… Namun sungguh, aku tak tahu, hendak ku langkahkan pada persimpangn jalan yang mana langkah kaki ini. Aku hanya takut, aku salah dalam mengambil keputusan. Ketika jalan ini kau buka dengan lapang untuk menjadi jalanku untuk lebih mudah menggapai cintaMu, justru aku sia-siakan dan tutup rapat karena ketidaktah...