Skip to main content

Kaderisasi, Refleksi Proyek Menata Peradaban


Universitas adalah tempat untuk memahirkan diri kita,
bukan saja di lapangan technical and managerial know how,
tetapi juga di lapangan mental, di lapangan cita-cita,
di lapangan ideologi, di lapangan pikiran.
Jangan sekali-kali universitas menjadi tempat perpecahan.
(Soekarno, 1958)

Jika kita menelisik roda sejarah, sedari dulu kampus memang telah menjadi tempat pencetak pemimpin bangsa. Kampus menjadi “kawah candradimuka”, tempat menggembleng kaum cendikiawan muda sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan nasional.
 
Namun jika kita lihat dengan kaca mata yang berbeda, ternyata catatan sejarah tak selalu bercerita demikian. Ya, tengok saja pada rezim Orde Baru, kampus dan perguruan tinggi di negeri ini ternyata pernah mengalami deideologisasi dan depolitisasi. Mahasiswa haram untuk berpolitik. Mahasiswa tidak diperkenankan andil memikirkan persoalan-persoalan bangsanya. Mahasiswa hanya harus belajar sungguh-sungguh sesuai disiplin ilmunya masing-masing. Sebut saja Soe Hok Gie dan rekan-rekan aktivisnya, mereka yang kritis dan peduli terhadap masalah rakyat dan bangsanya, justru selalu menjadi incaran para intel, bahkan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan subversif

Miris, itulah kata yang dapat menggambarkan kondisi mahasiswa yang hanya akan dicetak sebagai ekor sebuah sistem, yang selalu tunduk dan patuh dengan apa yang akan dilakukan oleh para petinggi pemangku kebijakan.  Terlebih lagi, rata-rata mahasiswa sekarang menjadi apolitis bahkan apatis terhadap persoalan rakyat dan bangsanya. Ketika kita melihat realita hari ini, dimana diterapkannya sistem kuliah berbasis SKS, serta biaya kuliah yang kian mahal, dapat dikatakan sebagai bagian dari agenda mengondisikan para mahasiswa menjadi kian pragmatis. Hal tersebut dikarenakan mayoritas mahasiswa hanya peduli kepada dirinya sendiri.  Cepat lulus, cepat kerja, dan mungkin ingin cepat kaya raya, itulah pemicu keapatisan mahasiswa hari ini terhadap dunia sosial dan politik. Hanya segelintir mahasiswa yang berani dan sanggup melawan arus pragmatisme yang hegemonik dan kemudian tertarik terjun menjadi aktivis yang peduli akan masa depan bangsa ini. Sehingga, dapat dikatakan pendidikan kali ini mengalami reduksi fungsi yang terjadi seperti pada era politik etis zaman penjajahan, pelajar dan mahasiswa hanya disiapkan menjadi pegawai, buruh atau birokrat dan teknokrat semata. 

Padahal kita tahu, potensi mahasiswa akan teramat sia-sia jika hanya menjadi pengikut kemudi nahkoda pemerintahan. Mahsiswa harusnya dapat menjadi kaum cendikiawan yang visioner, idealis, berjiwa militan, dan selalu berpegang teguh terhadap asas-asas humanisme universal. Oleh karena itulah, disegala lini dan level bangsa ini pun memiliki urgensi untuk mendapatkan pasokan generasi baru pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.

Berkebalikan dengan sikap Orde Baru, repolitisasi kampus memang sudah seharusnya dilaksanakan. Mahasiswa harus melek politik, peka terhadap kondisi sosial, dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya akan masa depan bangsa.
 
Politik mahasiswa sifatnya politik moral atau moral force, sebagai pengawal demokrasi, sebagai mata dan telinga rakyat, dan sebagai penyambung lidah rakyat. Mahasiswa akan tetap bisa bersikap kritis lantaran bisa menjaga jarak dari kekuasaan. Maka, komitmen mahasiswa adalah kepada amanat rakyat. Siapa saja yang menindas rakyat, siapa pun yang korupsi, siapa pun yang menginjak-injak HAM dan demokrasi, siapa pun penguasa yang menjadi musuh rakyatnya sendiri, harus siap-siap menghadapi perlawanan mahasiswa. Ya, itulah seharusnya mahasiswa.

Sesuai dengan perannya sebagai agent of change, social control, dan moral force, seorang mahasiswa dituntut peka terhadap fenomena sosial yang terjadi disekitarnya. Ketika terjadi ketimpangan pengambilan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, maka mahasiswa yang digadang-gadang sebagai representasi dari rakyat intelek seharusnya bergerak menentang kebijakan tersebut sebagai konsekuensi dari sebuah negara yang menganut sistem demokrasi.

Oleh karena itu, sejalan denga hal tersebut, otoritas kampus juga harus membuka kembali iklim kebebasan mahasiswa untuk berekspresi dan berorganisasi serta menentukan pilihan ideologinya. Kelompok-kelompok diskusi seperti Focus Group Discussion sebagai ajang intelectual exercise, juga dihidupkan kembali. Pers kampus yang kritis dan profesional harus diberdayakan. Student government seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Mahasiswa (DEMA), dan organisasi kampus lainnya harus diberi ruang hidup yang sebenar-benarnya. Bahkan, organisasi dan ormas ekstern pun terkadang juga harus diberi hak untuk bergandengan tangan bersama organisasi intern demi membangun kepekaan politik mahasiswa, dengan syarat organisasi intra mahasiswa dan otoritas kampus harus mampu melakukan filterisasi yang baik terhadap kehadiran organisasi-organisasi tersebut. Singkat kata, kampus harus dibuat kondusif bagi terjadinya dialektika keberagaman pemikiran dan menjadi wahana bagi para mahasiswa untuk melatih diri menjadi calon pemimpin bangsa dan negara di masa depan. Maka, disinilah letak strategis kampus perguruan tinggi sebagai penyuplai calon pemimpin nasional. 

Berbicara menganai seorang pemimpin, tak ada pemimpin hebat yang terlahir tanpa sebuah proses. Namun terkadang di antara kita yang menganggap sepele tugas proses tersebut. Lantaran menganggap sepele, maka implikasinya banyak orang yang tidak dapat memegang teguh tanggung jawab atau komitmennya sebagai pemimpin. Misalnya, tidak amanah atau tidak dapat dipercaya untuk mengemban tugas dan wewenangnya sebagai pemimpin. Beberapa pemimpin banyak yang mengalami krisis integritas.

Hal tersebut terindikasi ketika kita kesulitan menemukan sosok pemimpin yang berkarakter ideal, dapat dipercaya, dan bisa menjadi sosok yang patut diteladani atau sebagai uswatun hasanah. Akibatnya, posisi pemimpin pun kerap diincar sekadar sebagai batu loncatan untuk menunjukkan eksistensinya serta menajamkan pencitraan terhadap publik. Begitu pula kondisi di organisasi kampus, ketika sebuah organisasi hanya dijadikan sebagai pencarian eksistensi, alhasil organisasi kampus hanya menjadi tempat untuk nebeng nama guna mendapatkan gelar sebagai aktivis kampus. Hanya segelintir orang yang mampu tampil ke depan sebagai pemimpin sejati. Lebih ironisnya lagi, dari yang segelintir itu pun nyaris sebagian mereka tidak memiliki etos kepemimpinan yang berkarakter kuat dan cerdas. Yang ada adalah tipe pemimpin lemah, peragu, penakut, tak berani mengambil keputusan tegas dan cepat, tak berani menanggung risiko, dan mudah sakit hati dengan suatu kritikan.

Oleh karena iu, maka mahasiswa perlu disadarkan perannya melalui mekanisme pengaderan. Pengkaderanlah yang menjadi salah satu kunci utama guna melahirkan pemimpin yang ideal. Dalam sebuah organisasi kampus, prosesi pengaderan merupakan serangkaian proses dalam rangka pembentukan karakter mahasiswa yang sadar akan tanggung jawab dan perannya dalam masyarakat, dengan pemberian bekal paradigma untuk mencari jalan keluar dari sebuah masalah, serta menemukan solusi atas persoalan-persoalan sosial yang ada disekitarnya.



Karena kepemimpinan berawal dari sebuah proses, maka jadilah seorang pemimpin yang terlahir dari sebuah proses kepemimpinan. (Cosma)

Kadersisasi adalah nafas utama dalam sebuah pergerakan. kaderisasi adalah proses menciptakan kader atau generasi penerus sesuai kebutuhan zaman yang akan datang. Tiada kehidupan tanpa adanya kaderisasi. Di dalam Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin jilid I dituliskan bahwa “Kader adalah rahasia kehidupan berbagai umat. Sejarah umat adalah sejarah para kader yang militan dan memiliki kekuatan jiwa serta kehendak. Sesungguhnya kuat lemahnya suatu umat diukur dari sejauhmana kesuburan umat tersebut dalam menghasilkan kader-kader yang memiliki sifat-sifat kesatria”. 

Pengaderan merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab moral akan eksistensi organisasi secara umum, dan kepada Allah SWT secara khusus. Kewajiban, karena dalam setiap pergerakan tidak ingin mengalami kemunduran, bahkan vacuum dimasa depan. Tanggung jawab moral, karena sebuah organisasi punya andil besar dalam membentuk karakter generasi penerus yang mampu hidup pada zaman nya. Tanggung jawab kepada Allah SWT, karena Allah lah yang memilih pundak kita sebagai tempat bersandarnya suatu amanah, dan kepada Allah jugalah amanah itu dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itulah, proses pengkaderan tidak hanya memerlukan proses yang singkat. Proses pengkaderan itu sendiri haruslah melalui beberapa tahapan, yaitu tahap tahap penerimaan, tahap pengaderan awal, tahap pengaderan lanjutan, tahap pengukuhan dan regenerasi. Itulah mengapa sebagai seorang mahasiswa harus sejak dini menyiapkan dirinya menjadi calon pemimpin bangsa masa depan yang berkualitas dan memiliki integritas melalui sebuah kaderisasi.


Hidupnya suatu pergerakan bukanlah sebuah keberhasilan individual. Tugas kita adalah menata peradaban, bukan bermain bersama mesin dan buruh organisasi, karena mereka memiliki hati, mereka memiliki akal. Sebesar apapun suatu bangsa, tak akan menjadi bangsa yang besar tanpa adanya nahkoda pemegang kendali kapal pemerintahan yang tepat. Bagaikan negeri dengan hamparan tanah yang kering, tak akan hijau tanpa sebuah kesejukan kekeluargaan. Layaknya pohon tinggi berakar lapuk, akan mudah roboh oleh angin masalah. Maka, harmonisasi pergerakan haruslah memiliki sinergisitas yang kuat. Bukan hanya sinergis dalam orasi kampanye diawal, namun juga sinergis dalam penjagaan sebuah amanah yang terbentuk sejak, selama, dan hingga akhir amanah itu diemban, yang tercermin dalam sebuah kaderisasi.


Surakarta, 5 Desember 204

03:01
Cos Ma’arif H.L


Comments

Popular posts from this blog

Urgensi Lembaga Legislatif dalam Dinamika Politik Kampus

Seiring dengan makin dikenalnya istilah student governence di lingkungan kampus, tentunya akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang apa sebenarnya student governance atau yang kita artikan sebagai pemerintahan mahasiswa. Disamping itu, pengkajian terhadap setiap tugas, peran dan fungsi dari tiap-tiap lembaga tersebut wajib kita ilhami dengan baik, sehingga sistem baku yang telah dibentuk dalam lingkungan kampus ini dapat berjalan secara dinamis dan sinergis dalam mewujudkan pemerintahan mahasiswa. Layaknya sebuah pemerintahan negara, “organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa”. Berangkat dari landasan tersebut, tentunya dapat kita simpulkan bahwa prinsip “dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa” merupakan prinsip dasar dalam kehidupan mahasiswa. Untuk itu diperlukan suatu tatanan sistem organisasi mahasiswa untuk menjalankan prinsip-prinsip tersebut. Sistem student governe...

Yaa Muqollibal Qulub, Tsabit Qolbii 'ala Diinik

Ya, Rabb.. Bersama senja, Kau ketuk lagi hati ini. Hati yang tengah mencari arti dalam jalan yang sunyi. Kau getarkan kembali hati ini, ketika ia tengah nyaris mati tak berdetak. Kau hadirkan lagi memori itu, saat kami berada pada satu garis perjuangan yang sama. Kau ingatkan kembali pada sebuah janji yang sempat teruntai bersama tangis air mata dan doa. Yaa, Rabb. Tanpa kusampaikan lewat barisan kata pun, aku yakin, Kau mengerti apa yang ditanyakan oleh segumpal daging yang ada didalam raga ini. Aku mencintai Mu, namun bagaimana dengan ridho orang tua ku? Hendak kemana aku mencari jawaban atas kegelisahn hati ini? Aku ingin berjalan dijalan Mu. Sungguh, benar-benar ingin… Namun sungguh, aku tak tahu, hendak ku langkahkan pada persimpangn jalan yang mana langkah kaki ini. Aku hanya takut, aku salah dalam mengambil keputusan. Ketika jalan ini kau buka dengan lapang untuk menjadi jalanku untuk lebih mudah menggapai cintaMu, justru aku sia-siakan dan tutup rapat karena ketidaktah...

PPG Jalur Instan Mencetak Guru Profesional (?)

Hmm, lagi-lagi pingin membahas masalah PPG. Walaupun masalah PPG ini sudah pernah saya bahas di tulisan terdahulu dalam blog ini, boleh deh kita bahas lagi. Mumpung lagi panas :) Berbicara mengenai pengahapusan akta 4 per Juni 2014 bagi mahasiswa FKIP UNS, pasti erat hubungannya dengan isu PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang menjadi momok dan pembicaran panas di kalangan mahasiswa FKIP. PPG merupakan pendidikan lanjutan bagi setiap mahasiswa lulusan Kependidikan maupun Non   Kependidikan yang ingin tersertifikasi menjadi guru profesional.  Menurut wacana, lulusan mahasiswa FKIP mulai Juni, 2014 tidak lagi mendapatkan akta 4 sebagai syarat mereka untuk mengajar. Lantas bagaimanakah nasib para lulusan FKIP di tahun 2015 dan setelahnya? Apakah cita-cita luhur mereka untuk dapat menjadi seorang pendidik dan mengabdi pada negeri harus pupus? Ternyata pemerintah menjawab tidak. Dengan dihapusnya akta 4, pemerinah telah menyiapkan gantinya dengan mengeluarkan kebijaan unt...