Skip to main content

Sinopsis Film: Tanah Surga Katanya



“INDONESIA negeri yang besar, katanya
Tetapi apalah arti besar jika tak ada kebanggaan sekecilpun di benak kita
INDONESIA tanah surga, katanya
Tapi nyatanya ngarai seluas itupun tak bisa memakmurkan kita,
memang tanah surga bagi mereka para penjarah dunia.
INDONESIA negeri nan molek, katanya
Tapi nyatanya hanya bisa menyilaukan mata mereka, para kaum yang berduit
Lantas masihkah INDONESIA disebut tanah surga?
Jika untuk bertahan hidup pun bangsa kita merengek pada negeri tetangga”

Ketika Nasionalisme diagung-agungkan di negeri ini, ada kisah yang terlupakan di tanah marginal. Menilik sebuah kisah anak negeri yang diangkat pada sebuah film bertemakan nasionalisme, dimana nasionalisme harus disandingkan dengan luputnya bangsa ini memperhatikan setanah daerah yang masih menjadi bagian dari negaranya.

Berlatar di suatu daerah terpencil yang berada diperbatasan antara Indonesia dan Malaysia, tepatnya di pulau Kalimantan Barat. Daerah perbatasan yang sepatutnya hidup di bawah naungan negara, namun masih terbengkalai dan sangat ironi pada kenyataannya. Bagaimana tidak? Bayangan saja, masyarakat yang ada didalamnya hidup tanpa mengenal tanah airnya sendiri. Bahkan mata uang yang digunakan pun bukan mata uang Negara Indonesia, melainkan ringgit, mata uang negara tetangga yang bernama Malaysia. Begitu pula dengan bendera yang menjadi lambang negara pun terlihat asing dan tak dikenali oleh anak-anak bangsa yang seharusnya memiliki peranan penting untuk berdiri di garda terdepan demi membela tanah airnya.

Keadaan tersebut seakan menjadi lelucon sekaligus mengundang senyuman pahit, ketika fakta bahwa Indonesia yang hampir berumur 70 tahun ini belum cukup mampu merangkul seluruh bangsanya untuk mengenal dan menghargai negerinya sendiri.

Cerita ini dimulai dengan kehidupan suatu keluarga yaitu Hasyim, salah seorang mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965 yang tinggal bersama kedua cucunya, Salman dan Salina yang merupakan anak dari Haris. Haris yang telah bekerja di Serawak, Malaysia, suatu ketika kembali ke rumah untuk mengajak keluarganya pindah ke Serawak dengan alasan memperoleh kehidupan yang lebih baik, sejahtera, dan menjanjikan.

Memang, jika dibandingkan dengan desanya yang masih memakai obor sebagai penerang, minimnya berbagai fasilitas umum seperti rumah sakit, juga perbedaan yang cukup mencolok seperti jalan yang masih bebatuan, baginya Malaysia memang bak tanah surga. Namun, Hasyim, sang ayahanda yang memiliki sejarah patriotisme bangsa dan mengutarakan bahwa negeri Indonesia cukup makmur, tetap bersih kukuh menolak ajakan tersebut.

Meski Haris telah mengutarakan pendapatnya dengan mengatakan daerah mereka cukup tertinggal sehingga tidak ada yang bisa diharapkan dari pemerintah, dengan tegas Hasyim mengatakan “Aku mencintai negeri ini bukan untuk pemerintah tapi untuk bangsaku sendiri!” sebuah kalimat kepastian bahwa ia tidak akan merubah pikirannya, dan akan tetap tinggal di tanah air tercintanya. Akhirnya Haris pun hanya berhasil mengajak Salina, sedangkan Salman memilih untuk tetap tinggal dengan sang kakek.

Mencintai Indonesia tak cukup hanya dengan rangkaian kata manis. Seperti halnya Hasyim dan Salman. Cintanya pada tanah air, mereka tunjukkan dengan sebuah bentuk kesetian pada negeri ini. Memilih bertahan walau payah, memilih berjuang walau terengah, dan memilih bangga dengan apa yang ada.

Daerah marginal Indonesia memang tak seindah Malaysia ataupun kota-kota besar Indonesia itu sendiri. Ketika gedung pencakar langit seperti yang ada di ibu kota tak pernah ditemui di tanah ini, ia tetaplah Indonesia. Ketika jalanan aspal dan lampu malam Malaysia gemerlap di tanah seberang, daerah perbatasan ini tetaplah Indonesia. Ketika sebuah gubuk yang reyot harus disekat karena memang tak ada lagi ruang yang layak untuk disebut sebagai sekolah, ia tetaplah Indonesia. Ketika putra putri daerah lebih mengenal lagu kolam susu dibanding dengan lagu kebangsaannya, ia tetaplah Indonesia. Dan ketika hanya ada segelintir orang yang mau mengabdikan dirinya untuk memperbaiki nasib negeri ini, ia pun tetap Indonesia.

Negeri kita tak butuh para bedebah yang hanya mengakui saja bahwa dirinya hidup di tanah surga, Indonesia. Negeri kita tak butuh mereka, orang-orang yang khianat akan bangsanya. Mereka yang sekedar berdalih dengan kata cinta negeri tetapi tak ada satupun bukti yang teruji.

Tetapi Indonesia butuh kita, butuh para generasi yang peduli, tak sungkan menyingsingkan lengan kita, walau sekedar untuk memberi penghormatan pada negeri ini. Indonesia butuh kita, generasi yang bukan hanya punya sejuta kata cinta, tetapi punya dedikasi dan kontribusi serta komitmen untuk membangun negeri ini.

Bangsa ini butuh perubahan, perubahan ke arah yang lebih baik. Kita sebagai mahasiswa, sudah sepatutnya sadar akan amanah yang telah dibebankan di pundak kita. Amanah untuk menjadikan negeri ini menjadi sebenar-benarnya tanah surga bagi bangsanya. Tak ada yang bisa kita lakukan untuk merubah bangsa ini, kecuali dengan mulai bergerak hari ini. Begerak untuk menjadi pemuda yang bermanfaat untuk diri sendiri, orang lain, bangsa, negara dan agama. 

“Andai batu ini kan remuk di dalam liang lahat, remuklah ia sesudah menjinjing beban negeri ini. Andai kaki ini kan membusuk nanti, busuknya ia setelah menorehkan jejak yang berarti. Kalaupun harus remuk tulang belulang ini, pastilah ia remuk karena sebuah dobrakan untuk sebuah perubahan yang berarti. Meskipun harus mengucur deras keringat ini, pastilah ia deras mengucur karena sebuah pergerakan. Dan akhirnya ketika tubuh harus terbaring lemah, kaku, dan bersemayam di tanah ini, pastilah ia tumbang karena sebuah perjuangan untuk menjadikan tanah surga di negeri ini.”


Informasi film jika dibutuhkan :D
Judul film          : Tanah Surga Katanya
Sutradara         : Deddy Miswar dan Herwin Novianto
Produksi          : Citra Sinema
Durasi              : 90 menit
Tanggal Rilis    : 15 Agustus 2012


Comments

Popular posts from this blog

Urgensi Lembaga Legislatif dalam Dinamika Politik Kampus

Seiring dengan makin dikenalnya istilah student governence di lingkungan kampus, tentunya akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang apa sebenarnya student governance atau yang kita artikan sebagai pemerintahan mahasiswa. Disamping itu, pengkajian terhadap setiap tugas, peran dan fungsi dari tiap-tiap lembaga tersebut wajib kita ilhami dengan baik, sehingga sistem baku yang telah dibentuk dalam lingkungan kampus ini dapat berjalan secara dinamis dan sinergis dalam mewujudkan pemerintahan mahasiswa. Layaknya sebuah pemerintahan negara, “organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa”. Berangkat dari landasan tersebut, tentunya dapat kita simpulkan bahwa prinsip “dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa” merupakan prinsip dasar dalam kehidupan mahasiswa. Untuk itu diperlukan suatu tatanan sistem organisasi mahasiswa untuk menjalankan prinsip-prinsip tersebut. Sistem student governe...

Yaa Muqollibal Qulub, Tsabit Qolbii 'ala Diinik

Ya, Rabb.. Bersama senja, Kau ketuk lagi hati ini. Hati yang tengah mencari arti dalam jalan yang sunyi. Kau getarkan kembali hati ini, ketika ia tengah nyaris mati tak berdetak. Kau hadirkan lagi memori itu, saat kami berada pada satu garis perjuangan yang sama. Kau ingatkan kembali pada sebuah janji yang sempat teruntai bersama tangis air mata dan doa. Yaa, Rabb. Tanpa kusampaikan lewat barisan kata pun, aku yakin, Kau mengerti apa yang ditanyakan oleh segumpal daging yang ada didalam raga ini. Aku mencintai Mu, namun bagaimana dengan ridho orang tua ku? Hendak kemana aku mencari jawaban atas kegelisahn hati ini? Aku ingin berjalan dijalan Mu. Sungguh, benar-benar ingin… Namun sungguh, aku tak tahu, hendak ku langkahkan pada persimpangn jalan yang mana langkah kaki ini. Aku hanya takut, aku salah dalam mengambil keputusan. Ketika jalan ini kau buka dengan lapang untuk menjadi jalanku untuk lebih mudah menggapai cintaMu, justru aku sia-siakan dan tutup rapat karena ketidaktah...

PPG Jalur Instan Mencetak Guru Profesional (?)

Hmm, lagi-lagi pingin membahas masalah PPG. Walaupun masalah PPG ini sudah pernah saya bahas di tulisan terdahulu dalam blog ini, boleh deh kita bahas lagi. Mumpung lagi panas :) Berbicara mengenai pengahapusan akta 4 per Juni 2014 bagi mahasiswa FKIP UNS, pasti erat hubungannya dengan isu PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang menjadi momok dan pembicaran panas di kalangan mahasiswa FKIP. PPG merupakan pendidikan lanjutan bagi setiap mahasiswa lulusan Kependidikan maupun Non   Kependidikan yang ingin tersertifikasi menjadi guru profesional.  Menurut wacana, lulusan mahasiswa FKIP mulai Juni, 2014 tidak lagi mendapatkan akta 4 sebagai syarat mereka untuk mengajar. Lantas bagaimanakah nasib para lulusan FKIP di tahun 2015 dan setelahnya? Apakah cita-cita luhur mereka untuk dapat menjadi seorang pendidik dan mengabdi pada negeri harus pupus? Ternyata pemerintah menjawab tidak. Dengan dihapusnya akta 4, pemerinah telah menyiapkan gantinya dengan mengeluarkan kebijaan unt...