Indonesia di akhir 1950 dan awal 1960 adalah sebuah
negara yang terjebak diantara Perang Dingin. Apakah Indonesia dibawah pimpinan
presiden seumur hidup Soekarno akan mengikuti ideologi komunis? Hal tersebut
adalah pertanyaan bagi semua orang. Seluruh unsur masyarakat terpolitisasi dan
seluruh fraksi dalam masyarakat termasuk mahasiswa Indonesia akan terlibat
dalam permainan politik yang kemudian ikut menentukan masa depan bangsa ini.
Jika
kita menelisik roda sejarah, sedari dulu kampus memang telah menjadi tempat
pencetak pemimpin bangsa. Kampus menjadi “kawah candradimuka”, tempat menggembleng kaum cendikiawan muda sebagai pemegang tongkat estafet renovasi negeri ini.
Mahasiswa, agen pengawal demokrasi, dimana ia berperan
sebagai mata dan telinga rakyat, dan sebagai penyambung lidah rakyat. Mahasiswa
akan tetap bisa bersikap kritis lantaran bisa menjaga jarak dari kekuasaan.
Maka, komitmen mahasiswa adalah kepada amanat rakyat.
Para mahasiswa dan pemuda inilah yang pertama-tama
bertekad untuk mempersatukan seluruh penduduk pribumi di kepulauan ini sebagai
satu bangsa, Bangsa Indonesia, yang bertanah air satu, Kepulauan Indonesia dan
yang berbahasa satu Bahasa Indonesia. Sejarah
kemudian memperlihatkan bahwa tindakan pemuda-pemudi ini sangat berarti dan
amat banyak pengaruhnya pada perkembangan masyarakat Indonesia.
Meskipun
para mahasiswa merupakan golongan yang amat penting, golongan pada pertengahan
tahun 1960-an memiliki peranan yang amat besar dalam
meruntuhkan Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno dan membangun Orde Baru
yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Di antara para mahasiswa ini terdapat pemuda Soe Hok Gie. Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam
memegang prinsipnya dan bercita-cita besar tak hanya untuk dirinya sendiri
tetapi juga untuk kepentingan orang banyak terutama kaum terpinggirkan. Ia
rajin mencatat apa yang dialaminya, apa yang dipikirkannya.
Soe Hok Gie dibesarkan di sebuah
keluarga keturunan Tionghoa yang tidak begitu kaya dan berdomisili di Jakarta. Sejak remaja, Hok Gie sudah mengembangkan
minat terhadap konsep-konsep idealis yang dipaparkan oleh intelek-intelek kelas
dunia. Semangat pejuangnya, setiakawannya, dan hatinya yang dipenuhi kepedulian
sejati akan orang lain dan tanah airnya membaur di dalam diri Hok Gie kecil dan
membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan
mengimpikan Indonesia yang didasari oleh keadilan dan kebenaran yang murni. Baginya, kemerdekaan sejati dan hak-hak manusia harus dijunjung sebagaimana mestinya, ada harga
yang harus dibayar. "Lebih baik diasingkan daripada menyerah
pada kemunafikan."
Masa remaja dan kuliah Gie
dijalani di bawah rezim pelopor kemerdekaan Indonesia. Gie dan teman-temannya bersikeras bahwa mereka
tidak memihak golongan manapun. Meskipun Gie menghormati Sukarno sebagai
founding father negara Indonesia, namun Gie begitu membenci pemerintahan Sukarno
yang diktator dan menyebabkan hak rakyat miskin terinjak-injak.
Dimasa itu, Gie selalu menyoroti
masalah ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kedaulatan, dan korupsi di bawah
pemerintahan Sukarno. Itulah yang menjadi alasan mengapa ia selalu tegas
bersuara menulis kritikan-kritikan yang tajam di media. Gie juga sangat
membenci bagaimana banyak mahasiswa yang berkedudukan senat hanya mengumbar
janji-janji demi mengedoki usaha mereka dalam memperalat situasi politik untuk
memperoleh keuntungan pribadi.
Di
zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang
atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969, Gie berperan aktif
dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI,
organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66. Gie lebih banyak
berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka
lewat diskusi maupun tulisan di media massa.
Ketika
pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie tidak
lantas mendukung pemerintahan Orde Baru. Baginya,
Pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto ternyata bukanlah jawaban atas
cita-cita yang selama ini ia harapkan dari perubahan negeri ini. Orde baru
hanya mencetak tangan-tangan keji, yang siap membungkan dan mengenyahkan siapa
saja yang tak memiliki suara yang seirima dengan pemerintah.
Rezim orde baru,
masa dimana kampus dan perguruan tinggi di negeri ini tengah
mengalami deideologisasi dan depolitisasi. Mahasiswa haram
untuk berpolitik. Mahasiswa tidak diperkenankan
andil memikirkan
persoalan-persoalan bangsanya. Gie dan rekan-rekan aktivisnya yang selalu
mengambil langkah kritis terhadap masalah rakyat dan bangsanya, justru selalu
menjadi incaran para intel, bahkan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan
subversif. Oleh karena itu, selama keberjalanan pemerintahan Soeharto,
pemuda-pemudi Indonesia kembali bersatu padu demi membongkar
kebusukan-kebusukan era Soeharto, yang hingga akhirnya mereka mampu membuat
beliau turun dari pemerintahan.
Disisi lain sebagai aktivis dan penulis yang
memiliki ujung pena yang tajam dalam mengkritisi pemerintahan, Gie adalah sosok
pemuda yang mencintai alam bebas. Puisi-puisinya banyak berkisah tentang
kecintaannya terhadap pendakian gunung. Bahkan di akhir episode hidupnya berakhir
di tengah kabut tebal puncak Gunung Semeru pada 16 Desember 1969, sehari
sebelum ulangtahun Gie ke-27.
Gie adalah sebuah potret pemuda Indonesia pada
sebuah masa yang berani mengambil sikap. Kecaman yang dilontarkan Gie
dilancarkan atas pemikiran yang jujur, atas dasar itikad baik. Ia tidak selalu
benar, tapi selalu jujur. Terlepas dari sisi kontroversialnya yang terlalu
banyak mengkritik, tapi enggan untuk bergabung dalam sistem, ada hal yang patut
diapresiasi dan diperjuangkan di masa kini dan nanti. Agar apa yang
diperjuangkannya dahulu, tidak sia-sia di hari ini.
"Kita, generasi muda, ditugaskan untuk
memberantas generasi tua yang mengacau. Kitalah yang dijadikan generasi yang
akan memakmurkan Indonesia. Cuma pada kebenaran kita harapkan. Kebenaran cuma
ada di langit dan dunia hanyalah palsu." Soe Hok Gie
Informasi buku jika diperlukan :D
Judul Buku : Soe
Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
Penyunting : Ismid
Hadad, Fuad Hashem, Aswab Mahasin, Ismet Nasir dan Daniel Dhakidae
Penerbit :
Pustaka LP3ES Indonesia
Terbit :
VII, Mei 2005
Tebal : xx+385 halaman
Comments
Post a Comment