Pagi
ini, langit Jepang menemaniku hanyut dalam lamunanku dalam kenangan 22 tahun
silam. Sebuah nama
mengingatkanku atas segala perjuangan hidup yang sudah kulalui. Membuka kembali
memori-memori yang sudah tersimpan rapi dalam PC alami yang luar biasa ini. Aku masih ingat betul akan setiap episode yang telah terekam,
dimana ia menjadi saksi atas makna keberadaan ku disini, menjadi saksi atas
setiap kekuatan mimpi yang aku gantungkan, dan menjadi saksi atas jawaban
doa-doaku dalam setiap perjuangan.
22
tahun silam, Nazwa Azura , bayi mungil terlahir dari rahim seorang ibu yang
luar biasa. Seorang ibu yang tak pernah kulihat keteduhan tatapannya, tak
pernah kurasakan kehangatan dekapannya,
dan tak pernah pula kudengar kemerduan lantunan doa-doanya. Ya, ibu meninggal
dunia kurang lebih satu minggu setelah beliau melahirkanku. Kata ayah, ibu meninggal
karena saat melahirkanku ibu mengalami inveksi rahim. Maklum saja, persalinan
ibu hanya ditangani oleh seorang dukun beranak di desaku, Desa Dulolong, Nusa
Tenggara Timur. Peralatan yang digunakan untuk membantu persalianan sangat jauh
dibawah kata standar. Terlebih lagi kemampuan dan ilmu yang dimiliki oleh
seorang dukun beranak pasti tak sehebat para bidan dan dokter di kota besar
sana. Walaupun letak kota tak begitu jauh dari desaku, namun masalah ekonomi
adalah satu-satunya alasan mengapa ayah tak mampu membawa ibu ke Bu Bidan atau
Pak Dokter yang profesional di kota besar sana.
Sepeninggal
ibu, ayah berjuang sepenuh tenaga, mencurahkan setiap perhatiannya demi
menjagaku, si bayi kecil malang itu. Hingga pada suatu ketika, bayi kecil itu
mendapatkan sebuah hadiah kecil dari Tuhan berupa demam tinggi. Aku yakin,
pasti waktu itu ayah begitu bingung. Apalagi tak ada figur ibu yang membantu ayah
dalam merawat bayi kecil itu yang kondisinya dari hari ke hari semakin melemah.
Malam
itu, selang beberapa saat setelah ayah memberiku obat warung yang digerus
halus, aku pun tak sadarkan diri. Gelisah, panik, cemas dan khawatir pun
berkecambuk menjadi satu dalam diri ayah. Tak ingin membuat kesalahan untuk
kedua kalinya, ayah langsung membawaku ke rumah salah seorang tetangga. Beliau
adalah Ibu Eny, salah seorang tetangga yang dikenal memiliki jiwa sosial yang
begitu tinggi. Ia juga seorang guru yang mendedikasikan dirinya di sebuah
sekolah SMA yang berada di Kota Waingapu. Oleh karena itu, ayah membawaku ke
rumah beliau, kerena ayah percaya bahwa Bu Eny yang berstatus sebagai seorang
guru pasti lebih mengerti apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelematkanku.
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Bu Eny dan ayah pun segera membawaku ke
puskesmas terdekat. Ya, aku hanya dibawa ke puskesmas saja karna kota kami tak
memiliki satupun rumah sakit, itu pun hanya ditangani oleh seorang dokter dan
satu mantri saja. Dokter telah semaksimal mungkin menyelamatku dengan dibantu
oleh seorang perawat. Namun apa daya, walaupun mereka telah melakukan usaha
semaksimal mungkin, walaupun mereka adalah para tenaga kesehatan yang
profesional, dan walupun mereka adalah dokter dan perawat dari lulusan
universitas ternama di tanah Jawa yang sudah pasti sangat mumpuni menangangani
masalah seperti ini, numun semua itu tak mampu mengubah takdir Allah yang
meninginkanku tumbuh sebagai seorang gadis yang lumpuh. Efek samping obat yang
telah ayah berikan ternyata mempunyai energi yang lebih besar untuk mematikan
syaraf-syaraf motorik pada anggota gerak bawah tubuhku. Bayi mungil yang malang
itu difonis lumpuh total.
Sejak malam itu, hari terus berganti minggu,
minggu berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun, aku tumbuh sebagai gadis
kursi roda. Tapi entah kenapa, aku tak pernah sedikitpun membenci ayah yang
pernah salah memberiku obat, karena aku yakin itu adalah bentuk cinta ayah
terhadapku.
Malam
itu boleh saja merenggut kedua kaki ku, tapi ia tak akan mampu merenggut masa
depanku. Aku, si bayi kecil yang malang itu ternyata tumbuh menjadi seorang
gadis kecil yang cerdas. Semangatku yang tak pernah padam menjadi semangat
tersendiri untuk mewarnai setiap kisah dalam hari-hariku. Dan Bu Eny, ia
bagaikan malaikat yang menjadi figur pengganti seorang ibu bagi diriku. Karena
sungguh, aku sering kali merindukan ibu, walaupun aku tak sempat merasakan
hangat dekapan beliau.
28
Februari 2002, usia ku genap 10 tahun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya,
tahun ini aku mendapat hadiah istemewa dari Bu Eny. Hadiah yang tak sekedar
bernilai materi saja, namun jauh lebih dari itu. Bu.Eny merekomendasikan ku ke
kepala sekolah SMA tempat ia mengajar. Beliau berkata aku pantas untuk
mengenyam pendidikan di bangku SMA tersebut karena aku begitu kritis dalam
menaggapi suatu permasalahan. Ya, aku memang senang mengkritisi beberapa hal.
Terutama untuk setiap berita yang aku baca di koran atau pun buku yang telah
aku baca. Sejak dahulu aku telah memiliki kebiasaan untuk menulis kembali
setiap bacaan yang aku baca. Dan melalui tulisan itulah aku mampu menuangkan
buah pemikiranku untuk setiap kasus yang telah aku baca dengan sebuah kritik
serta gagasan untuk menanggapi berita yang disajikan. Dan minggu depan aku
telah diperbolehkan untuk berangkat ke sekolah. Tak
hanya itu, Di hari ulang tahunku saat itu, Bu Eny memberiku sebuah kotak kayu istimewa.
“Nazwa,
ini nak ibu punya kado ulang tahun buat kamu. Tapi maaf ya nak, kadonya
sederhana.”
“Wah
Bu Eny, kotak kayunya keren banget bu. Nazwa suka. Terima makasih banyak ya Bu buat
kadonya”
“Iya
sayang, sama-sama. Tapi coba buka dulu deh kotak kayu nya. Ada sesuatu di dalam
kotak itu, sayang”
Dengan
sigap pun Nazwa membuka kotak kayu itu. Raut wajahnya yang pebuh penasran
seketika berubah menjadi wajah yang penuh tanda tanya.
“Bunga
kertas? Ini bunga kertas kan Bu? Untuk apa?”
“Iya
sayang, itu memang bunga kertas. Bukannya dulu Nazwa pernah bilang, Nazwa
pingin banget punya bunga sakura kan?”
“Iya
bu, Nazwa memang ingin sekali punya bunga sakura. Tapi ini kan bunga kertas, Bu.
Lalu apa hubungannya dengan bunga sakura?”
“Nazwa, maaf kan Ibu ya nak, tahun ini ibu
belum bisa memberikan mu hadiah yang kamu inginkan. Maafkan ibu belum bisa
memberikanmu bunga sakura yang pernah engkau lihat di buku ensiklopedia kesukaan
mu itu. Saat ini, anggap saja bunga kertas ini adalah bunga sakura. Tapi kamu
harus janji nak, suatu hari nanti ibu harus melihat di kotak ini ada dua buah
bunga. Berikan bunga ini sebuah teman. Kau harus bisa mendapatkan bunga sakura
untuk menemani bunga kertas ini. Entah bagaimana caranya, Ibu yakin kamu bisa
mendapatkannya. Entah bagaimana caranya.”
Ya,
itulah kalimat yang pernah Bu Eny sampaikan. Sebuah petuah ajaib yang
menjadikanku pribadi hebat seperti hari ini.
Tiga
tahun sudah aku mengenyam pendidikan di bangku SMA ini. Tiba waktunya hari
kelulusan itu. Momen yang sangat kutunggu-tunggu karena aku ingin membuktikan
dan membayar setiap kasih sayang diberikan Bu Eny kepada ku dengan sebuah
prestasi. Dan ternyata benar, aku menjadi siswa dengan NIM terbaik di SMA ini,
bahkan di provinsi Nusa Tenggara Timur ini. Dan tak kusangaka, aku mendapatkan
pintu gerbang untuk mewujudkan cita-citaku. Pemerintah memberikan beasiswa bagi
3 siswa dengan lulusan terbaik dari provinsi ini untuk mengenyam pendidikan di
Pulau Jawa. Saat itu, Bu Eny memberi ku saran agar aku melanjutkan pendidikan
ku program study Hubungan International. Beliau ingin agar impianku selama ini
tercapai, agar aku dapat pergi ke luar negeri.
Tapi
kali ini, aku tak bisa memenuhi keinginan beliau. Aku punya pilihanku sendiri.
Aku lebih ingin menjadi sosok yang inspiratif, seperti Bu Eny. Terlebih lagi,
di sebuah universitas negeri di Jawa, tepatnya di Kota Solo ada sebuah
universitas yang membuka peluang bagi para anak bangsa yang berasal dari
wilayah terpencil seperti aku ini untuk mendapatkan kesempatan belajar dengan
subsidi dana dari pemerintah. Ya, Universitas Sebelas Maret. Universitas ini
membuka program study Program Pendidikan Guru Terintegrasi (PPGT). Program
study ini merupakan program study yang khusus dipersiapkan bagi kami, agar
nantinya kami yang berasal dari daerah terpencil sekalipun dapat merasakan
bangku kuliah di Pulau Jawa, dan hingga nantinya kami dapat kembali ke tanah
kelahiran kami dengan menyandang gelar guru. Bagiku menjadi guru tak sekedar
menjadi sebuah cita-cita, namun telah menjadi panggilan jiwa untuk mengabdi
pada negeri tercinta. Ya, walaupun peluang untuk pergi keluar negeri dan
mendapatkan bunga sakura ketika aku telah memilih program study PPGT jauh lebih
kecil bila dibandingkan jika aku mengambil program study hubungan
internasional, tapi aku yakin, janji Allah itu nyata untuk setiap hambaNya yang
bersungguh-sungguh dalam berjuang.
Tahun
demi tahun telah terlalui dengan begitu menyenangkan. Ya, bagaimana tidak
menyenangkan, ternyata hingga hari ini masih ada saja yang mau menerima seorang
gadis cacat dari sebuah tempat terpencil untuk mendapatkan kesempaatan
melanjutkan kuliah disebebuah universitas favorit ini, Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Memasuki
tahun ketiga, ternyata aku kembali mendapat sebuah kesempatan emas yang tak
dimiliki oleh setiap mahasiswa UNS. 7 Maret 2014, pendaftaran untuk menjadi
Mahasiswa Berprestasi kembali dibuka. Sudah tiga tahun ini aku memendam impian
untuk menjadi Mahasiswa Berprestasi di UNS. Dahulu aku begitu canggung.
Terkadang aku malu karena aku hanyalah gadis cacat yang tak memiliki kaki.
Terkadang pula aku juga merasa malu, karena aku hanyalah gadis kecil yang
berasal dari sebuah pedalaman yang tak setiap orang mengetahui keberadaannya.
Tetapi aku harus segera mengubur perasaan itu dalam-dalam. Aku ingat, aku masih
mempunyai janji pada Bu Enny. Aku harus mampu mendapatkan bunga sakura itu,
secepatnya!!!
Tahap
demi tahap seleksi pun berlalu. Tak kuduga, tak ku sangka, aku tak hanya
menjadi Mahasiswa Berprestasi tingkat Universitas saja, aku bak bintang kejora
yang kecil ternyata justru mampu bersinar lebih terang di antara jutaan benda
langitnya. Aku menjadi Mahaiswa Berprestai tingkat nasinal dan mampu
mengalahkan jutaan mahasiswa yang ingin menjadi Mahasiswa Berprestasi Nasional
sepertiku saat ini.
Allah
tak pernah lupa untuk mewujudkan setiap azam hambaNya yang bersungguh-sungguh
berjuang untuk mendapatkannya. 13 Juni 2014, aku bersama ke delapan temanku
yang menjadi pemenang sebagai Mahasiswa Berprestasi di tiap-tiap fakultas
mendapatkan kesempatan untuk pergi ke negeri sakura sebagai hadiah atas
prestasi yang telah kita peroleh.
Ah,
sepertinya aku telah begitu lama melamun. Sang mentari semakin meninggi, awan
dilangit pun perlahan-lahan beranjak menuju ke arah timur. Timur? Jika aku
ingat-ingat dipeta, sepertinya Indonesia terletak disebelah timu Jepang.
Teringat dengan Indonesia, teringat pula aku dengan tanah kelahiranku di Dulolong.
Ya, dan ternyata berbicara mengenai Dulolong pun tak pernah bisa lepas dengan
bayang-bayang sosok lelaki paruh baya, dan wanita inspiratif itu. Siapa lagi
kalau bukan ayah dan Bu Eny. Oh Tuhan, andai saja mereka juga ada disini
meemaniku melihat keindahan negeri Jepang ini. Sepertinya rindu ini mulai
menusukku lagi secara perlahan. Dan perlahan pula siluet wajah mereka mulai
tergambar jelas dalam memoriku. Ayah, Bu Eny, taukah kalian akan rinduku ini?
Aku rindu akan setiap semangat dan petuah yang selalu kalian berikan. Oh,
tunggu sebentar, petuah?? Ya, hampir saja aku melupakan janji itu. Tetapi,
dimana aku bisa mendapatkan bunga sakura itu?
Hari
semakin siang, sepertinya aku memerlukan bantuan untuk mendapatkan bunga sakura
itu segera. Sepertinya aku tahu kepada siapa aku harus meminta bantuan. Ya,
Tania! Tania adalah sahabatku yang berasal dari Fakultas Kedokteran. Entah
sejak kapan kami bersahabat baik, yang jelas aku selalu berbagi cerita
kepadanya tentang ayah, Bu Eny, serta semua impian-impianku.
Tanpa
fikir panjang akupun segera meminta tolong kepada Tania untuk mengambilkan
kotak kayu ku yang berisi bunga kertas itu serta memintanya untuk menemani ku
bekeliling Jepang untuk mendapatkan bunga sakura itu.
Tak
selang begitu lama setelah aku meminta tolong kepada Tania untuk mengambilkan
kotak kayu ku yang kutaruh di meja taman, Tania pun datang menghampiriku dengan
senyum tersungging di bibir merahnya sembari membawa kotak kayu itu.
“Ini
Naz kotak kayu nya.”
“Makasih
ya Tan. Oh iya, kamu ada waktu luang nggak Tan siang ini? Aku mau minta tolong
buat nemenin aku cari bunga sakura nih. Mau ya Tan, please”
“Kenapa
harus cari bunga sakura Naz?”
“Iya
nih Tan, kamu inget nggak sama ceritaku tentang janji ku ke Bu Eny, kalo aku
harus bisa ndapetin bunga sakura buat nemenin bunga kertas yang ada di kotak
ini”
“Emang
sekarang bunga kertasnya belum punya temen, Tan? Coba gih di cek dulu”
“Maksudnya?”
“Iya,
di cek dulu. Buka aja, siapa tahu dia udah punya temen.”
Sontak
hatiku membuncah bahagia. Aku melihat ada bunga sakura yang bersanding dengan
bunga kertas yang ada di dalam kotak kayu ini.
“Tania,
kamu yang nyariin bunga sakura ini?”
“Iya
Nazwa cantik. Tadi pagi sewaktu aku jalan-jalan keluar, aku liat ada pohon
sakura. Langsung deh aku inget kamu. Kalau kamu mau liat pohonnya langsung,
sore nanti setelah kita presentasi, aku bisa temenin kamu buat liat pohon
sakura itu kok”
“Kamu
serius Tan? Maksih banyak ya Nazwa, kamu emang sahabatku yang paling baik deh”
Bahagia
yang tak terhingga, mimpi yang selama ini ku impikan akhirnya dapat kucapai juga.
Terimakasih Tuhan, terimakasih Jepang, terimakasih Ayah, terimakasih Bu Eny dan
terimaksih sahabatku, Tania.
Walau tanpa kaki, Allah Azza Wa Jalla lah yang
mengantarku disini, Allah Azza wa Jalla lah yang mewujudkan setiap mimpi. Maka,
tak perlulah kita takut untuk bermimpi, karena akan selalu ada Allah dalam setiap azzam kita.
By: Cos Ma'arif H.L
#Lomba PIM Cerpen Pendidikan for All
Comments
Post a Comment