Apakah kita masih ingat, bahwa dalam setiap keping uang yang
kita banggakan ada hak orang lain?
Berawal dari cerita yang tlah lama ku tahu dari seorang
kawan.. Hari ini benar-benar ku saksikan sosok itu. Sosok kakek yang menyambung
hidup lewat kantong-kantong kacang rebus yang ia jual di pinggir jalan.
Berhadapan langsung dengan aspal yang sejajar
dengan tempat ia duduk. Beratap pohon rindang saja. Mungkin bisa dibilang ia seperti
orang yang kurang kerjaan. Ia gelar dagangannya pada selembar karung beras yang
sudah using dan ditatapnya kantong-kantong kacang itu sembari jongkok layaknya
seorang peminta.
Tidak banyak yang ia jual, mungkin hanya tiga puluha-an
kantong saja dengan harga 2000 rupiah per kantongnya. Saat ku coba
mendekatinya, dia bilang “tumbas limo (beli lima)?” Kulihat, ada harapan besar
yang memanjar dari mata rabunnya. Saat ku iya-kan entah apa yang berbuncah
dalam hatinya. Tapi perasaan itu dapat aku rasakan. Rasa syukur dalam mulut yang
telah rontok sebagian giginya. Tangannya begitu gemetar membukakan plastik
untuk lima kantong yang ku beli bersama kawan ku.
Sepanjang jalan menuju kampus, aku terus saja mengumbar
seribu tanya tentang kehidupan kakek penjual kacang tadi.. Di usianya yang
telah senja, ia masih saja mencari nafkah “sebisanya”. Berbeda jauh dengan
mereka yang hilir mudik seharian sambil menengadahkan tangan dari sudut satu ke
sudut lainnya, dari gedung satu ke gedung lainnya. Andai kalian tahu, si
penjual kacang rebus jauh lebih tua dari semua pengemis di kampus pusat yang
sering aku temui ketika ada agenda disana atau sekedar berkunjung ke Rumah Satu
Hati.
Apakah hati kita berbeda dengan kakek itu? Atau mungkin semangat
kita berbeda? Yang pasti kita terlampau jauh untuk jadi anaknya. Setidaknya
mungkin sederajat dengan cucu. Namun hebatnya, ia tak pernah ragu atas rezeki allah
untuknya, lewat kantong-kantong kacang yang ia jual dari hasil yang halal, yang
penuh berkah bagi siapa yang memakannya.
Sepulang kuliah, nampaknya aku telah rindu lagi padanya. Wajah
yang teduh nan sejuk bagiku. Aku membeli beberapa bungkus lagi untuk keperluan konsumsi
aebuah agenda hari ini. Satu hal yang membuatku diam seribu kata. Ialah saat ia
menuturkan bait-bait doa padaku, saat tangan kanannya merengkuh tanganku dan
tangan kirinya menengadah sembari berkata “mugo-mugo diparingi sehat, slamet,
panjang umur, sekolah sing pinter (semoga diberikan sehat, selamat, panjang
umur, sekolah yang baik biar jadi anak pintar)”. Aku pun sekejap
meng-amini-nya.
Dalam perjalanan menuju rumah, hatiku sesak. Sesak karna tak
kuasa menahan tangis.. Betapa tidak, kakek itu bahkan jauh lebih tua dari
kakekku sendiri. Di usianya yang seharusnya ia gunakan untuk bahagia bersama anak-cucu-buyutnya
justru ia habiskan untuk memungut rupiah-rupiah yang tak mesti kapan datangnya.
Bahkan karena kulit keriputnya yang pekat seperti tanah yang ia injak, tanpa
tulisan ataupun penanda, sedikit orang yang tau kalau di bawah pohon itu
bersemayam manusia renta. Gerimis yang jatuh mungkin bisa menjatuhkannya pada
sakit atau mungkin dagangannya yang tak laku. Atau mungkin lagi, ia tetap
berjualan dengan payung tua yang ia letakkan di samping tempat duduknya.
Padahal, seharian baru terjual sepuluh bungkus saja, itu berarti hanya aku dan temanku
saja yang membelinya.
Aku tak tau harus menggambarkannya sepertia apa. Teramat pilu
dan penuh haru. Yang jelas, untuk kalian yang sempat membaca catatan ini ku
titipkan satu nama pada kalian. Doakan layaknya kakekmu sendiri. Semoga di masa
penantiannya, allah selalu melapangkan hatinya, menguatkan pijakan kakinya dan
meneguhkan niat tulusnya. Contohlah ia sebagai jiwa yang pantang meminta.
Jadikanlah ia sebagai pengingatmu untuk selalu “berbagi kepada sesama”
Suatu saat ketika kau berjumpa dengannya, ku pastikan kau
akan mendapatkan jabat tangan orang paling teduh yang bukan siapa-siapa dari
bagian hidupmu, orang yang begitu menghargai hidup, orang yang teramat tahu
bahwa “allah maha kaya” dan akan allah tebarkan rezeki dari arah yang tak
disangka-sangka.
Surakarta, 09
November 2014
21:23
Cos Ma’arif H.
L
Comments
Post a Comment