Demi
langit beserta seluruh binaannya
Demi
bumi serta yang ada di hamparannya
Demi
jiwa dan seluruh penyempurnaannya
Allah,
Subhanallah … Allah, Subhanallah
Allah,
Subhanallah … Allah, Subahanallah.. mungkin hanya itu yang bisa menggambarkan
kekagumanku atas apa yang aku lihat beberapa jam yang lau. Hamparan langit dan
bumi yang terbentang amat luas. Semakin tinggi, semakin kulihat jelas. Manusia
hanyalah bagian dari titik kecil atas kuasaNya. Gedung-gedung pencakar langgit
yang megah itu, kini kulihat semakin mengecil dan terus mengecil, hingga hilang
tak terlihat. Pulau yang tak bisa kulihat karena terlampau besarnya, kini pun aku
bisa melihatnya, dan kini pulau yang amat besar itupun kini kian mengecil.
Mengecil, mengecil, dan terus mengecil hingga lenyap tak terlihat. Inilah yang
membuatku mengerti, bahwa memang sebagai manusia sungguh tak pantas jika ada
rasa sombong dalam diri yang kerdil ini.
Pulau-pulau itu semakin kecil |
Hingga samar tak terlihat |
Dan awan pun mulai mengaburkannya |
Penerbangan
kali ini adalah penerbangan perdanaku. Takut? Khawatir? Pasti.. Bagaimana
tidak, ketika kita telah berada dalam pesawat, yang ada hanyalah pasrah, kemudi
sepenuhnya ditangan pilot, namun takdir tetap Allah yang menentukan. Lapis demi
lapis langit ku lewati, tak jarang pesawat kami pun menembus gumpalan awan yang
begitu besar. Dan baru kali ini aku mengalami pergantian cuaca yang begitu
cepat. Pada ketinggan awal, langit tampak cerah, matahari bersinar terang.
Namun selang beberapa saat setelah kami menembus lapisan langit itu, cuaca
seketika berganti. Matahari yang beberapa saat lalu bersinar, kini entah
menyembunyikan sinarnya kemana. Gumpalan awan hitam mulai terlihat. Kulihat
dari jendela pesawat, hujan turun sangat deras. Terkadang gemuruh pun
terdengar, walau tak begitu jelas. Kilat-kilat itu menyambar bersahutan. Bahkan
aku sempatan melihat kilatan cahaya yang sempat melintas di dalam pesawat.
Jelas, sangat jelas.
Awan dengan langit yang cerah |
Gelap, dan semakin gelap |
Saat
itu yang kufikirkan hanyalah hanyalah kematian. Yaa Rabb, sudah siapkah hamba
jika ini adalah waktuku untuk kembali?? Kini yang bisa kulakukan hanyalah
berdoa dan pasrah. Sebenarnya, dimanapun kita berada, jika malaikat izroil
telah telah menjemput, tak seorangpun mampu menunda bahkan mengelak. Di tempat
tidur yang nyaman pun jika waktu kita telah habis, maka tak ada yang bisa
menghindari, terlebih lagi disaat kita naik pesawat terbang yang mengangkasa di
langit luas tak berujung. Cukup pasrah dan tawakal. Inna sholati wa nusukii wa
mahyaya wa mamati lillahi robbil ‘alamiin.
Namun
penerbangan kali ini tak hanya mengajarkanku untuk mengingat kematian saja.
Allah tunjukan dengan hamparan langit yang megah dengan awannya bak ombak yang
menggulung-gulung di lautan. Jika biasanya awan terlihat diatas, namun kali ini
dapat melihatnya tepat atas, kanan, kiri bahkan dibawah pandanganku. Sepanjang
mata memandang hanya langit nan luas dan awan yang putih. Subhanallah… Allahu
Akbar..
Awan pun bergulung bak ombak di lautan lepas |
Hingga akhirnya yang kulihat hanyalah langit dan awan dari segala penjuru mata angin |
Bahkan malam pun lebih indah dari biasanya |
Hingga akhirnya kami pun tiba di Tanah Anging Mamiri dengan selamat |
Selamat Malam Tanah Daeng, Selamat mengukir jejak di Tanah Makassar |
Ya,
Allah.. ijinkan aku kembali menikmati kuasaMu ini kembali.. Kelak, suatu hari..
mengudara ke tanah haram, menuju Baitullah, Mekkah..
Makassar, 19 Maret 2015
23:52 WITA
Cos Ma’arif H. L
Comments
Post a Comment