Menjauh untuk
menjaga. Kau tahu, sejujurnya aku benci konsep itu. Terlalu menyedihkan.
Seperti perumpamaan klasik tentang matahari yang mencintai bumi dengan
jaraknya. Terdengar tegar dan dewasa memang, tapi tetap saja menyedihkan.
Aku mulai “mengira”, barangkali analogi itu cuma pembenaran teoritis atas
tragedi ketidakmampuan mencintai—dengan alasan apapun. Atau boleh jadi semacam
legitimasi bagi sebuah kerapuhan jiwa.
Apa yang bisa
diharapkan, dari sebuah cinta yang bahkan oleh himpitan jarak saja ia jadi tak
berdaya? Apa yang bisa dibanggakan, dari cinta yang dengan segala macam
pembenarannya menyerah pada sebuah keterpisahan, pasrah pada ketakberdayaan,
sementara seluruh penjuru dunia memuja kedigdayaannya dengan kalimat ‘Amour
Vincit Omnia’ ?
Kalau saja
matahari, memang mencintai bumi. Dengan abadinya keberjarakan yang ditakdirkan
pada mereka, mestinya telah redam bara yang ia punya. Terendam oleh air matanya
sendiri. Seperti Qais yang cintanya tak pernah sampai pada Laila, tak ada yang
bisa ia lakukan kecuali menangis. Lalu majnun-lah ia, sebelum akhirnya
mati dalam sebuah keterpurukan.
Apakah selalu begitu, benturan antara rasa
dengan realitas yang beda rupa selalu mencipta luka?
#AulaGedungF
#JedaSanggahUKT
Surakarta, 05 Agustus 2015
13:59
Cos Ma’arif H. L
Izin meng-kutip kalimatnya :)
ReplyDelete