Untuk setiap peluh di keningmu. Untuk setiap cucuran keringat di tubuh rentamu. Untuk setiap kaki yang tercacah, tulang yang merapuh, juga langkah yang terseok. Pun juga untuk bahu yang telah terlalu lama menopang
Kita akan selalu banyak belajar. Tentang bagaimana mereka mendefinisikan makna cinta, perjuangan, pengorbanan, pengabdian juga kebermanfataan. Sebuah definisi yang begitu suci. Juga begitu mulia. Hanya saja, mungkin ia tak pernah dikenal.
Terkadang kita mudah lupa. Atau bahkan sengaja melupa; dengan membuat defini baru tentang makna “kenal”. Kita membuat jeda antara maya dan nyata dengan selebar-lebarnya jarak. Kemudian kita memilih berpijak pada maya, dan memilih acuh pada yang sejatinya ada.
Perjalanan kita sudah cukup jauh. Cukup sering salah arah. Juga cukup sering tertipu oleh visual gemerlap kanan kiri jalan ini. Yang tek jarang membuat lalai. Yang tak jarang pula menjadikan angkuh dalam dimensi kepalsuan. Seolah besar, ternyata kerdil. Seolah tulus ternyata…. ah, kau bisa menjawabnya sendiri.
Harusnya aku lebih banyak belajar. Pada seorang bocah kecil berbaju merah putih di persimpangan lampu merah itu. Terlihat tas ransel di punggungnya, sedang setumpuk koran dikedua tangannya. Baginya, menawarkan koran-korannya dari satu pengendara ke pengendara lain adalah bukti kecintaannya akan impian-impiannya. Baginya, berjuang tak mengenal usia.
Harusnya aku lebih banyak belajar. Pada bapak pengatur jalan raya itu. Walau tak segagah bapak polisi di sebrang jalan sana, namun jiwanya selapang langit yang memayunginya. Di bawah terik yang menyengat, di balik pekatnya asap knalpot bus kota, senyum ikhlasnya selalu menyejukkan.
Harusnya aku lebih banyak belajar pada si bapak tua pengayuh becak. Baginya, tak perlu menjadi jutawan untuk bahagia. Biar sedikit asalkan berkah. Baginya, anak dan istri dapat hidup layak adalah bagian syukur yang tak terhingga darinya.
Harusnya aku lebih banyak belajar. Pada nenek tua yang menjajakan kacang rebus di pinggir jalan itu. Kehormatannya ia sendiri yang menentukan. Pantang meminta-meminta layaknya anak muda yang telah patah arang di luar sana. Ia takut, akan murka Rabb nya bila ia melakukan sesuatu yang tak disukaiNya. Dan baginya, ini adalah cara terbaiknya untuk berjuang.
Harusnya aku lebih banyak belajar. Pada sosok bapak paruh baya itu. Yang pantang menyerah menjajakan cilok dengan sepeda tuanya. Ia begitu mengamini, bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasibnya jika ia tak berusaha mengubahnya sendiri. Baginya, begitulah puncak pengorbanannya demi putrinya yang saat ini tengah menempuh pendidikan dokter di sebuah perguruan tinggi negeri di kota ini. Harapnya, semoga putrinyalah yang mampu mengangkat derajat kedua orang tuanya.
Dan harusnya aku lebih banyak belajar. Pada kakek berwajah teduh yang kerap menyapu di halaman masjid itu. Penghambaannya telah sampai pada puncaknya. Ia begitu faham, bahwa dunia sejatinya hanyalah panggung senda gurau. Baginya, tujuan utama dalam hidup adalah keridhoan Tuhannya. Dan begitulah ia memaknai penghambaan atas Dzat yang memilikinya.
Dalam perjalanan ini, begitu banyak kaum yang tak dikenal. Yang tak banyak dilihat, yang tak banyak diperbincangkan. Kebaikannya yang diam-diam. Tersimpan rapi dan rapat-rapat. Yang ternyata hanya Rabb dan malaikatNya saja yang merekam.
Maka dari merekalah, seharusnya kita banyak belajar. Mereka, yang tak pernah dilihat oleh penduduk bumi, namun amat dirindukan oleh penduduk langit. Semoga Allah memberikan umur panjang yang barokah untuk kesemuanya, agar ia selalu menjadi sebaik-baik guru kehidupan bagi kami yang masih kerap ingin menjadi sosok yang dikenal.
Bapak Penjual Cilok Dwpan SD |
Comments
Post a Comment