Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Sebagai prasasti terimakasihku tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa J
Tanpa tanda jasa?? Benarkah??? Yaa, dahulu memang
seorang guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun apakah hari ini
seorang guru masih bisa dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa?? Dimanakah
sosok guru-guru kita yg dahulu?? Hmm, entahlah. Yang jelas pada hari ini, para
guru Indonesia sedang berlomba-lomba untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi.
Ya, Tunjangan sertifikasi adalah tunjangan profesi sebesar satu gaji pokok yang
diberikan untuk seorang yang guru yang telah memiliki sertifikat guna untuk
meningkatkan kesejahteraan guru.
Berbicara mengenai sertifikasi, teringat akan diskusi waktu itu dengan teman-teman BEM FKIP UNS. Didalam diskusi siang itu banyak sekali sekali membahas tentang sertifikasi dan seluk beluknya, sampai-sampai masalah PPG pun juga ikut dikupas dalam diskusi siang tadi. Ya, karena dalam forum tersebut sepertinya belum terlalu puas dalam menyampaikan opini, mungkin bisa saya curahkan melalui tulisan ini.
Berbicara mengenai sertifikasi, teringat akan diskusi waktu itu dengan teman-teman BEM FKIP UNS. Didalam diskusi siang itu banyak sekali sekali membahas tentang sertifikasi dan seluk beluknya, sampai-sampai masalah PPG pun juga ikut dikupas dalam diskusi siang tadi. Ya, karena dalam forum tersebut sepertinya belum terlalu puas dalam menyampaikan opini, mungkin bisa saya curahkan melalui tulisan ini.
Sedikit mengulas pembicaran siang itu, hari ini telah banyak guru Indonesia yang menikmati kebijakan pemerintah mengenai pemberian tunjangan sertifikasi bagi para guru yang telah memiliki sertifikat dan syarat-syarat lainnya untuk mendapatkan tunjangan tersebut. Berarti sudah dipastikan bahwa tingkat kesejahteraan guru pun jauh mengalami peningkatan. Namun pertanyaannya, apakah tunjangan tersebut telah mampu menjawab harapan pemerintah untuk meningkatkan system dan kualitas pendidikan Indonesia??
Peningkatan kesejahteraan guru memang sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Karna bagaimanapun, bila kita melihat kondisi masyarakat kita pada hari ini, di dalam kamus kehidupan mereka akan sangat jarang sekali di temui kata “Pengabdian”. Pengabdian tanpa mengharapkan imbalan, upah ataupun gaji merupakan suatu hal yang amat langka di negeri ini. Memang sangat miris jika di dengar, mengabdi hanya untuk mendapatkan upah kesejahteraan, tapi inilah realita yang terjadi pada bangsa ini, dan tak ada satu pun yang mampu mengubah mindset ini terkecuali kesadaran diri sendiri. Namun, jika harus menunggu kesadaran diri sendiri, sampai kapan fakta ini akan berakhri? Sampai kapan kualitas pendidikan kita jauh tertinggal dengan negera-negara lain? Oleh karena itu, sedikit banyak dengan peningkatan kesejahteraan guru akan menjadi salah satu motivasi bagi para guru untuk melakukan perbaikan kompetensi mengajar mereka, walaupun motivasi tersebut hanya sebatas untuk mendapatkan tunjangan kesejahteraan, bukan motivasi yang untuk memajukan system pendidikan itu sendiri.
Namun coba kita kembali lagi dengan pertanyaan di awal tadi. Dengan adanya sertifikasi apakah harapan untuk meningkatkan kompetensi guru sudah terjawab? Jika melihat relaita yang ada, sebetulnya peningkatan kompetensi mengajar seorang guru yang telah disertifikasi dengan guru yang belum memperoleh tunjangan sertifikasi tidak jauh berbeda. Lantas, kenapa hal ini terjadi? Yang jelas, pasti sudah ada system yang salah didalamnya. Seharusnya, sertifikasi guru digunakan untuk meningkatkan kualitas guru itu sendiri, tetapi pada kenyataannya sertifikasi justru hanya semata-mata digunakan untuk syarat mendapatkan tunjangan sertifikasi demi meningkatkan kesejahteraan pribadi saja. Tentu hal tersebut jauh menyimpang dengan tujuan awal pemerintah memberikan kebijakan ini. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan memberikan tunjangan untuk para guru kita, namun sepertinya pemerintah harus mengkaji ulang dan mengevaluasi kembali “konsep” pemberian sertifikasi guru tersebut.
Pemberian sertifikasi guru pada hari ini terasa sangat rumit. Coba kita lihat saja, untuk pencairan awalnya saja seorang guru harus mengurus berkas-berkas portofolio yang berjuta macemnya. Harus ada inilah, harus ada itu lah, harus beginilah, harus begitulah. Ditambah lagi kalau syaratnya ada yang tidak memenuhi. Misal, untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi seorang guru harus mengajar 24 jam mata pelajaran dalam seminggu. Terus yang belum memenuhi gimana dong? Ya caranya dibuat entah bagaimana caranya supaya jadi 24 jam mata pelajaran per minggu. Caranya?? Ya entahlah, bagi sebagian dari mereka mau pake jalan kanan atau jalan kiri, jalan depan maupun jalan belakang, itu mah urusan belakang. Yang terpenting syaratnya terpenuhi dulu. Hehe.. #sebagiaaann, nggak semua guru gitu kok J Belum lagi nanti kalau sudah turun, setiap pencairan tiap bulannya pun masih saja di repotkan dengan syarat-syarat administrasi lagi. Ini sih berdasarkan pengamatan saya. Kebetulan bapak sudah sertifikasi, jadi yaa sering aja sih liat ribetnya bapak dan teman-teman beliau yang sudah sertifikasi untuk mengurus data-data administrasi tunjangan.
Mungkin hal ini menjadi salah satu factor mengapa para guru Indonesia justru mengalami penurunan kompetensi mengajar ketika mereka mendapatkan tunjangan sertifikasi. Terang saja, para guru akan lebih disibukkan dengan target mereka untuk memenuhi persyaratan demi mendapatkan sertifikasi dibandingkan dengan melaksanakan amanah yang seharusnya menjadi prioritas utama mereka sebagai pendidik dan pengajar. Belum lagi setelah mereka mendapatkan tunjangan tersebut, setiap bulannya mereka harus di sibukkan kembali dengan pemenuhan laporan administrasi. Lagi-lagi guru kita berfokus pada tunjangan mereka. Lalu kapan anak didik mereka mendapatkan prioritas lebih tinggi di banding dengan kepentingan sertifikasi mereka? Maka tidak heran jika dengan system pemberian yang terlalu ribet seperti ini justru membuat pengaplikasian kompetensi mengajar mereka menurun. Jika memang pemerintah ingin memantau apakah kebijakan pemberian sertifikasi tersebut dapat efektif untuk meningkatkan system pendidikan Indonesia, mengapa hanya sebatas dilihat dari segi administrasi saja? Bukankah acuan keberhasilan pendidikan itu dilihat dari segi output anak didik mereka, bukan kelengkapan administrasi guru itu sendiri?? Jika justru lebih berfokus pada segi administrasi saja, bukankah sebuah laporan pertanggungjawaban dalam bentuk data-data admintrsi tersebut terkadang juga bisa dimanipulasi? Lalu, apakah penilaian administrasi sudah menjadi pilihan yang tepat untuk mengukur keefektifan pemberian tunjangan sertifikasi untuk meningkatan kompetensi guru? Tidakkah lebih efektif jika dengan menjadikan prestasi anak didik mereka sebagai tolak ukur??
Berbicara mengenai sertifikasi guru, pasti erat hubungannya dengan PPG (Pendidikan Profesi Guru). PPG merupakan pendidikan lanjutan yang saat ini wajib ditempuh jika nantinya para lulusan FKIP ingin mendapatkan sertifikasi. Namun selain itu PPG juga merupakan program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1 / D4 Non Kependidikan yang ingin berpindah haluan menjadi guru agar mereka menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Pendidikan Profesi Guru ini hanya ditempuh kurang lebuh dalam 2 semester (1 tahun) saja. Dalam kurun waktu ini mereka akan dibekali mata kuliah keguruan yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya untuk dapat menguasai ilmu pendidikan sebelum mereka berubah gelar menjadi seorang guru instan. Guru instan? Ya, bagaimana tidak instan, bayangkan saja, ilmu keguruan dan pendidikan yang biasanya dipelajari oleh mahasiswa FKIP selama 8 semester hanya mereka tempuh dalam kurun waktu 2 semester saja. Lalu jika ilmu tersebut mampu ditempuh dalam kurun waktu 2 semester saja, mengapa mahasiswa FKIP harus menempuhnya dalam kurun waktu 8 semsester? Apakah pemerintah sudah benar-benar mantab dan yakin dengan kualitas lulusan mahasiswa PPG yang sebelumnya belum sama sekali belum pernah mencicipi ilmu pendidikan? Atau justru jangan-jangan pemerintah masih merasa ragu-ragu dengan kualitas mahasiswa FKIP dalam mendidik generasi muda bangsa ini? Ya memang, pengetahuan akademik mahasiswa FKIP tidak sedetail mahasiswa Non-FKIP, kita ambil contoh Ilmu Sains. Kami tahu, Ilmu pengetahuan Sains kami masih sangat jauh bila dibandingkan dengan ilmu pengetahuan Sains mahasiswa MIPA. Ilmu mereka tentu lebih detail, rinci dan mendalam, kami yakin itu. Namun, coba kita tilik kebelakang lagi, guru yang besar bukanlah guru yang hanya memiliki kecerdasan tingkat dewa ataupun ilmu setinggi Gunung Semeru. Namun hal yang jauh lebih penting lagi adalah bagaimana peran guru dalam menjadi figur pengajar dan pendidik.
Menjadi guru tidak hanya sebatas mesalah mentransfer ilmu saja, namun ia haruslah menjadi figur seorang pendidik. Seorang pendidik adalah orang yang mampu menanamkan nilai moral dan nilai-nilai kehidupan kepada para siswa didiknya, yang nantinya akan menjadi bekal bagi mereka untuk berdikari dalam menyelesaikan masalah kehidupan mereka sendiri.
Bukannya ingin menyindir pihak manapun, tetapi sampai hari ini mungkin saja alasan yang menjadikan pendidikan di Indonesia belum mencapai titik maksimal berawal dari masalah ini. Masih banyak guru Indonesia yang belum mampu mendidik dengan sempurna dikarenakan pendidikan mereka basic nya memang bukan dipersiapkan untuk menjadi seorang pendidik. Apapun yang instan itu tak akan lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang mengalami sebuah proses yang mantab dan benar.
Lalu, berdasarkan penjelasan ini, bagaimana menurut kalian mengenai program pemerintah menjadikan PPG sebagai jalur instan menjadi guru? Sudah tepatkah kebijakan ini? #ThinkAgain! ^_^
Surakarta, 01 Maret
2014
22:02
Cos Ma’arif H. L
Comments
Post a Comment