Siang ini, karena perkuliahan telah usai, dan semua organisasi yang
aku ikuti sudah pleno, ibarat jalan tol, jalanan macet sudah terlewati,
aktivitas lalu lintas mulai terlihat lengang. :D Seperti biasanya, sengaja ku
isi waktu luang untuk stalking di beberapa blog orang-orang yang ku anggap
keren, terutama mereka yang sering disebut sebagai aktivis kampus, yang memang
nama-nama mereka sudah tak asing lagi bagiku. Singkat cerita, aku membaca
sebuah artikel dari sebuah blog seorang kakak aktivis yang berjudul “Andai
Semua Mahasiswa Kedokteran Mau Jadi Aktivis”. Entah kebetulan atau tidak, namun
akupun juga sempat berfikiran seperti itu, “Andai Semua Mahasiswa FKIP Mau Jadi
Aktivis”.
Ya, hal ini terbesit ketika saya merasakan keapatisan teman-teman terhadap
situasi yang saya anggap benar-benar penting (red: terkait PPG, UKT, pemilihan presiden BEM (yg ini termasuk penting nggak yaa?? pentinglah.. dan lain
sebagainya). Namun disaat terjadi kondisi yang benar-benar urgent pun, hal itu
tetap tak mengubah kepatasisan mereka. Padahal sudah jelas bahwa kebijakan yang
akan terjadi ini mengancam kemaslahatan umat, bahkan bisa dikatakan mengancam
masa depan mereka sendiri. Namun entah kenapa, mereka tetap saja berlagak acuh
dan tak peduli terhadap situasi yang terjadi. Seakan semuanya baik-baik saja.
Atau bahkan mereka berfikiran “ah, sudahlah, kan sudah ada anak-anak aktivs
itu, biar mereka saja yang mengurusi, ntar juga beres” (Helloo, ini tanggung
jawab kita semua kali, ini semua untuk kita, bukan hanya saya atau dia, kalau
semua untuk kita, ya kita semualah yang harus memperjuangkan). Bahkan yang
lebih diluar logika, ada beberapa dari mereka yang berkata “Kurang kerjaan,
ngapain capek-capek demo sana-sini, toh itu sudah menjadi kebijakan dari
pemerintah, kalau sudah jadi ketetapan ya buat apa lagi dilawan?!” (Hmm, saya
mulai ragu dengan orang-orang ini, misalnya… jika suatu saat pemerintah “tiba-tiba”
membuat kebijakan “Penerapan Tanam paksa dan romusha sebagai pengganti KKN
selama 1 tahun penuh, dan menjadi syarat utama kelulusan bagi seluruh mahasiswa
Indonesia”. *serem dan aneh banget sih ya contohnya.. iyaa, ini kan Cuma misal.
Bingung mau cari contoh yang bisa bikin ngena :D* Kalau seperti ini, apakah
mereka juga akan berdiam diri saja walaupun kebijakan tersebut sudah terlanjur
dikeluarkan??)
Sebenarnya asalkan masih ada orang-orang yang berjuang dijalan ini,
negeri ini masaih mempunyai harapan besar untuk melakukan perbaikan. Namun
sampai kapan mereka yang tak peduli itu hanya menjadi seorang penonton yang
hanya berharap mendapatkan kemenangan melalui tangan-tangan orang lain? Kapan
kita dapat membalas jasa bangsa ini melalui keringat dan peluh kita sendiri?
Sekali lagi, jangan pernah tanyakan seberapa besar apa yang negeri ini berikan
pada kita, tapi tunjukkan seberapa besar apa yang telah kita berikan untuk
negeri ini.
Bangsa ini butuh perubahan, perubahan ke arah yang lebih baik. Namun
permasalahannya, untuk melakukan perubahan bagi sebuah bangsa tak dapat hanya
dilakukan dalam hitungan hari saja. Disisi lain, perubahan itu terwujud dalam
sebuah system. Dimana suatu system pastilah mempunyai beberapa komponen atau
elemen-elemen yang saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan.
Jika salah satu komponen itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sebuah
perubahan hanya akan menjadi angan-angan yang entah kapan akan menjadi sebuah
kenyataan.
Sebuah system pasti dinamis, pun dengan perubahan. Namun
permasalahannya, tak ada kedinamisan tanpa sebuah pergerakan. Dan tak ada
pergerakan tanpa sebuah energy/gaya untuk menggerakannya. Lalu pertanyaannya,
siapakah yang berperan sebagai sumber energy dalam system ini? Yang pasti
adalah pemuda. Karena pada dasarnya pemuda itu memiliki sifat dan karakteistik
yang membedakan dirinya dengan generasi-generasi lain. Pemuda itu energik,
pemuda itu berani mengambil resiko, pemuda itu mempunyai rasa ingin tahu yang
tinggi, pemuda itu kreatif, inovatif, kritis, visioner, idealis, dan masih
banyak lagi karakteristik-karakteristik lain, yang hanya dimiliki oleh
“pemuda”.
Jika berbicara tentang pemuda, pemuda mana lagi yang lebih
berpengaruh jika bukan mahasiswa. Ya, mahasiswa.. anak bangsa cendikiawan yang
selalu digadang-gadang oleh masyarakat luas untuk memperbaiki taraf hidup
bangsa. Mahasiswa selalu diletakkan di garda terdepan untuk mengawal jalannya
demokrasi di negri
ini. Mahasiswa pulalah yang berperan sebagai mata dan telinga rakyat, serta sebagai penyambung lidah rakyat
untuk menyalurkan aspirasi mereka. Melaui peran pemudalah, perubahan social
akan terwujud. Oleh karena itu, dapat kita bayangkan betapa kecewanya mereka
ketika gelar yang selama ini disematkan dalam pundak kita sebagai agent of change, social control, dan moral force hanya berujung
pada sebuah gelar tak berjasa.
Membahas dalam lingkup yang lebih sempit lagi, menjadi mahasiswa
keguruan dalam FKIP, kita pun memiliki andil yang besar dalam pemeranan
peran-peran diatas. Bahkan kitalah yang menjadi pioneer dari setiap status yang
telah saya sebutkan tadi. Kenapa demikian? Ya, seperti yang kita ketahui,
hingga hari ini bangsa ini masih memiliki berbagai macam permasalahan yang
mengharuskan kita untuk turun tangan membawa angin perubahan. Kita ambil contoh
di tahun 2015 ini, bangsa kita mendapatkan tantangan maha dahsyat dari dunia
internasional. Di tahun ini kita harus menghadapi AEC atau MEA, ACFTA, dan lain
sebagainya. Persaingan dan permasalahan bisa datang dari bidang manapun. Tidak hanya dalam bidang pendidikan saja, namun
hal ini juga akan berpengaruh pada bidang pertahanan, ekonomi, politik, sosial,
serta budaya.
Namun diluar itu semua, sebenarnya kita telah menggenggam kunci emas dari
tiap-tiap permasalahan tersebut. Setiap permasalahan di semua bidang akan dapat
diantisipasi dan diselesaikan dari poros utamanya, yaitu pendidikan. Jika kita
mampu membuat system pendidikan yang baik, kita pun akan dapat menciptakan
iklim yang baik pula dalam bidang pertahanan, ekonomi, politik, social, budaya,
dan bidang-bidang lainnya. Karena kita lah yang akan melahirkan pakar-pakar
ahli di bidang tersebut. Dari seorang guru, para dokter hebat itu terdidik.
Dari seorang guru, tentara-tentara tangguh itu terdidik, bahkan dari seorang
guru pulalah pemimpin negeri ini, presiden RI terdidik, begitu pula semua
profesi-profesi hebat lainnya, dari dedikasi seorang gurulah mereka terlahir
sebagai generasi emas negeri ini. (Narsis dikit yaa, calon guru gituu :D)
Itulah mengapa, aku ingin sekali seluruh mahasiswa FKIP menjadi
aktivis. Karena kita adalah induk dari suatu perubahan. Dan yang perlu digaris
bawahi adalah, aktivis itu tidak hanya identic dengan turun ke jalan
dengan menyerukan rentetan orasi yang panjang kawan, aktivis juga tidak hanya
identic dengan anak-anak organisasi dengan genre social politik. Pemaknaan
aktivis itu sendiri sebenarnya sangatlah luas. Jika kita tidak terlalu suka
dengan hal-hal yang demikian (red: audiensi, demo, ataupun aksi-aksi yang
mengharuskan turun kejalan), tak masalah. Kalian dapat menjadi aktivis dengan
cover yang lain, tentunya dengan hal-hal yang kalian sukai, yang bermanfaat
bagi orang lain. Menjadi aktifis bisa juga dilakukan dalam bentuk menyampaikan
tulisan, menjadi aktivis dakwah kampus yang selalu menyeru pada kebajikan,
melakukan pengabdian masyarakat, melakukan riset dan penelitian yang hasilnya
dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat, dan lain sebagainya. Yang terpenting
kita harus peka terhadap kondisi social dan selalu mengaktifkan diri sesuai
dengan passion kita masing-masing. Itulah aktivis, orang-orang yang punya
inisiatif untuk perubahan lebih baik.
Tapi diluar itu semua, menjadi seorang pembawa perubahan memang
bukanlah perkara yang sederhana. Baik waktu, tenaga, dan fikiran kita tak lagi
hanya kita alokasikan untuk kepentingan pribadi kita sendiri. Memang, pada
dasarnya semua
orang memiliki waktu yang sama, 24 jam dalam sehari, 168 jam dalam seminggu,
672 jam dalam sebulan, dan seterusnya. Namun setiap orang memanfaatkan waktunya
dengan cara yang berbeda-beda. Yang jelas, hanya ada dua pilihan bagi kita para
penikmat waktu, jika kita tidak disibukkan dengan hal-hal yang positif dan
bermanfaat, pastilah kita akan disibukkan dengan hal-hal negative atau
kesia-siaan, sekecil apapun itu. Setiap diri kita mempunyai cara masing-masing
dalam mengikuti perputaran roda waktu, begitu pula aktivis, orang-orang yang
punya waktu lebih untuk bermanfaat bagi orang lain, mengabdi untuk negaranya,
dan mempersembahkan yang terbaik untuk agamanya. Entah ia berkecimpung dalam aktivitas
politik, dakwah, pengabdian masyarakat, riset dan penelitan atau apapun itu,
yang pasti aktivis selalu mencoba melakukan yang terbaik dalam hal positif
serta berusaha bermanfaat untuk orang lain, bangsa, Negara, dan agamanya.
Ketika kita ingin melihaat kesejahteraan umat, maka kita harus
bersiap dan rela untuk tak melihat kesejahteraan kita sendiri. Namun yang
pasti, ada pengorbanan ada pula harga lebih yang akan dibayar untuk lelah kita,
itulah janji Allah. Jika kita memudahkan urusan orang lain, maka Allah lah yang
akan memudahkan urusan kita.
Banyak hal yang
perlu kita evaluasi, banyak hal yang perlu kita perbaiki, dan banyak hal pula
yang menunggu untuk kita beraksi. Pastikan dirimu bermanfaat untuk orang lain,
dan pastikan dirimu mampu melakukan hal kecil untuk negeri ini. “Perubahan itu
dimulai dari diri kita sendiri, mulai dari sekarang, dan mulai dari hal-hal
yang kecil”. Terserah engkau akan bermanfaat dalam bidang yang mana dan dalam
bentuk apa, yang terpenting adalah kita harus turut andil dengan menjadi
seorang aktifis. Selamat menjadi Aktifis.
Surakarta, 09 Januari 2014
16:05
Andai semua mahasiswa FKIP aktivis.... mau dong kakaaak jadi aktivis kayak kakaaakk :)
ReplyDelete