Dalam buku ini, Irfan Hamka, anak kelima dari H. Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih sering dikenal dengan Prof. Dr. Buya Hamka, mencoba menuliskan sebuah buku yang ia dedikasikan untuk perjuangan dan pengorbanan ayahanda tercintanya serta untuk memperluas syiar dan kisah Hamka. Dalam tulisannya kali ini ia tidak hanya membahas Buya Hamka sebagai ulama, sastrawan, cendekiawan, atau pemimpin masyarakat saja, tetapi ia juga ingin mengenang beliau sebagai manusia yang dicintai istri, anak-anak, keluarga, murid-murid, dan sahabat-sahabatnya.
Buya Hamka, memang benar nama besar ini bukan hanya dikenal
sebagai ulama besar saja, melainkan juga sebagai sastrawan, budayawan,
politisi, cendikiawan, dan pemimpin masyarakat. Kenang-kenangan sepanjang 33 tahun
yang penuh peristiwa menarik itu dikisahkan oleh Irfan Hamka sejak ia berusia 5
tahun (1948, zaman agresi II) sampai 1981, tahun wafat Buya Hamka.
Kali ini saya akan mengulas secara garis besar beberapa
bagian dan kisah yang disajikan di dalam buku yang berjudul “Ayah…” ini.
Dalam bagian pertama, Irfan menyuguhkan kembali beberapa
nasihat-nasihat bijak Hamka tentang kehidupan. Nasihat tentang membina keluarga,
indahnya hidup bertetangga dan kiat
menjadi anak yang bisa membanggakan orangtuanya.
Pada bagian selanjutnya, kita juga diajak lebih dekat
mengenal Buya Hamka yang berperan sebagai guru mengaji, pejuang, pegawai
negeri, ayah, suami dan guru silat Berdasarkan penuturan dari Irfan tentang
sosok ayahnya sebagai guru ngaji, Buya Hamka dikenal sebagai orang yang terbiasa
tadarus Quran selama 2–3 jam dalam sekali membuka mushaf Quran. Lebih lanjut lagi,
Irfan Hamka menulis bahwa jika ditotal, Buya Hamka terbiasa menghabiskan waktu
sebanyak 5–6 jam dalam sehari untuk membaca Quran. Kecintaan Buya Hamka terhadap
Quran berlangsung lama. Dan durasi tadarus Qurannya semakin lama ketika istri
beliau, Hj. Siti Raham Rasul, meninggal dunia.
Dari segi fisik, Buya Hamka adalah sosok yang kuat. Selain
itu, sebagai guru silat, tentu ia dikenal dengan sosok yang tangguh. Dalam buku
tersebut diceritakan bahwa Buya Hamka pernah melakukan perjalanan ke berbagai
pelosok daerah di Sumatra Barat hingga Riau hanya dengan berjalan kaki. Dan
yang memberi nilai plus akan tindakan beliau tersebut adalah niatannya untuk
mengobarkan semangat jihad warga Minangkabau untuk mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia. Oleh karena menyadari kewajiban jihad itu pulalah, Buya
Hamka juga dikenal sebagai pesilat tangguh di tanah Minang yang pernah
menangkap penjahat di suatu bus hanya dalam sekejap, serta pernah membuat
gentar seorang jawara silat di tanah Minang yang lebih dahulu dikenal publik
kala itu.
Di bagian ini pula,
dikisahkan perjalanan hidup Hamka yang konsisten menjunjung tinggi nilai
kejujuran, kebenaran, keberanian, kelembutan dan kasih sayang serta bagaimana
suasana mencekam ketika Hamka dan keluarganya mengungsi dari cengkeraman
Belanda.
Di bagian ketiga, Irfan Hamka menceritakan secara gamblang
kehebatan ayahnya melakukan ‘lobying’ dengan jin, yang dikenal dengan Innyiak
Batungkek. Akhirnya beliau mampu membuat jin di rumah barunya tersebut ‘tunduk’
walau terkadang masih terdapat kejahilan di sana-sini. Rokok yang terbang,
suara-suara seram seperti ketukan tongkat, penampakan sang jin yang menyerupai
Hamka, sura misterius dari sumur, dan kisah ghaib lainnya.
Bagian empat, lima dan enam. Kisah perjalanan haji Buya Hamka , istrinya (Ummi Hj. Siti Raham bin Rasul St. Rajo Endah) dan Irfan Hamka itu sendiri dengan kapal laut Mae Abeto (1968). Perjalanan yang mencekam ketika mereka dihadapkan pada angin topan gurun pasir, supir yang mengendarai mobil sambil tertidur dan terjangan air bah di perjalanan dari Baghdad menuju Mekkah. Alhamdulillah mereka selamat. Ajaibnya lagi, disaat ketiga bencana itu datang, terdengar seperti ribuan orang berdzikir mengikuti Hamka, Ummi, Irfan, dan supirnya.
Bagian tujuh dan delapan berisi kisah kekuatan Ummi mendampingi Hamka. Ummi ditakdirkan untuk menjadi perempuan hebat yang setia menemani Hamka. Dalam buku ini juga dikisahkan ketika Ummi mendapat hinaan dan fitnah. Pahit getir kehidupan mereka membuat Ummi menjadi ibu yang kuat dan pantang menyerah.
Bagian sembilan adalah salah satu bagian yang paling saya suka. Dalam buku ini di paparkan secara jelas perjalanan hidup Buya Hamka sejak kecil. Buya adalah putra Syekh Abdul Karim, seorang ulama dari Sumatra. Ibu Buya Hamka benama Shaffifah. Ketika kecil, ayahnya menyekolahkan Hamka disebuah sekolah desa dan pendidikan agama, yaitu Diniyah. Dalam buku ini pula dikisahkan bahwa ketika Hamka berusia 12 tahun, ayah dan ibunya bercerai. Peristiwa ini tentu membuat arah hidupnya terguncang, namun bukan Hamka namanya jika ia tak mampu bangkit kembali. Ketika berusia 13-14 tahun ia telah mampu memahami pemikiran-pemikiran Djamaluddin Al-Afghani, Mohammad Abduh, juga HOS Tjokroaminoto, KH. Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, H. Fachruddin, tokoh-tokoh berpengaruh lainnya kala itu. Kekagumannya pada tokoh-tokoh tersebut pulalah yang menjadi salah satu pendorong bagi Hamka untuk melakukan suatu peranatauan ke Tanah Jawa. Tak hanya itu, dalam buku ini irfan juga menjlaskan bahawa ayahnya tak punya diploma. Pendidikan yang tidak terlalu tinggi membuatnya ditolak di sekolah-sekolah saat ia melamar menjadi guru. Namun kegigihannya belajar membuatnya berkelana dari tanah Jawa hingga ke Mekkah. Dan akhirnya ia menerima gelar Honoris Causa dari Al-Azhar University Cairo serta menulis sebanyak 118 artikel dan buku (sastra islam, filosofi-sosial, roman, tasawuf, sejarah, biografi).
Semangat hidupnya tak hanya ia tunjukkan dari segi menuntut ilmu saja, namun juga terlihat ketika beliau benar-benar memegang teguh ajaran Islam. Hal ini dibuktikan ketika Buya Hamka memilih untuk mundur dari jabatan sebagai ketua MUI karena adanya intervensi dari pemerintah kala itu yang geram dengan fatwa MUI tentang larangan bagi umat Islam untuk mengikuti pergelaran Natal bersama yang sedang digalakkan rezim Soeharto, dimana kala itu ialah yang menjadi Ketua Umum MUI. Itulah alasan mengapa Hamka memilih mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua MUI. Namun sejak itulah sejarah mencatat satu pernyataan beliau yang sangat terkenal:
“Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah semata. Ulama yang telah menjual diri kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak mana pun. Ulama ibarat kue Bika. Dari bawah dipanggang api, dari atas pun dibakar api. Begitu juga ulama, dari bawah oleh umat, dan dari atas oleh pemerintah,”
Pada bagian ini pula terdapat kisah Hamka dengan Ir. Soekarno, Mr. Moh. Yamin, dan Pramoedya Ananta Toer. Pada tahun 1964-1966, selama 2 tahun 4 bulam, Hamka di tahan atas tuduhan pelanggaran Undang-undang Anti Subersif Pempres No. 11, yang berisikan tuduhan perencanaan pembunuhan Presiden Soekarno. Hamka baru dibebaskan setelah jatuhnya rezim Soekarno yang digantikan oleh Soeharto. Tak hanya dengan Soekarno, ia pun juga memiliki beberapa kisah dengan Moh. Yamin. Pada tahun 1955-1957, Buya Hamka menjadi anggota Konstituante dari fraksi Partai Masyumi yang terlibat langsung dalam merumuskan dasar Negara Indonesia. Ketika itu terdapat dua pilihan untuk menjadikan Pancasila atau Islam sebagai dasar Negara. Alhasil dari perbedaan tersebut munculah dua kubu yang sama kuat antara front pembela Islam dari golongan Partai Masyumi dan front pembela Pancasila dari golongan Partai Nasional Indonesia (PNI). Lagi-lagi, Hamka adalah sosok yang tidak pernah toleran bila telah menyangkut masalah prinsip dan aqidah. Ia pun dengan tegas mengatakan “Bila Negara kita ini mengambil dasar Negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!” Mendengar penyataan tersebut, tentu saja Moh. Yamin yang berada pada kubu Pancasila sangat terkejut. Dan sejak insiden itulah amarah dan rasa bencinya pada Hamka mulai membuncah.
Selain itu, Irfan juga menceritakan hubungan Hamka dengan Pramoedya Ananta Toer. Pada awal tahun 1963, terbitlah Koran Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur, dua buah surat kabar komunis yang berhasil menggemparkan dunia sastra dengan artikelnya yang memberitakan bahwa “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” merupakan hasil jiplakan pengarang Hamka. Serta pada Koran Harian Bintang Timur memberitakan bahwa Hamka mencuri sebuah karangan asli dari murid asuhan Pramoedya Ananta Toer, Alvonso care. Selama berbulan-bulan, Hamka terus menerus difitnah dengan berita-berita yang diterbitkan oleh kedua koran tersebut.
Dari ketiga kisah tersebut, ketiga tokoh tersebut terang-terangan membuat kehidupan Hamka dirudung kesulitan selama beberapa tahun. Karena Soekarno, Hamka dipenjara selama 2,4 tahun. Karena Moh. Yamin dan Pramoedya, Hamka dijatuhkan image dan harga dirinya. Namun, di akhir sisa hidup, Soekarno malah meminta Hamka menjadi imam jika ajal menjemputnya. Moh.Yamin memohon Hamka berkenan membimbing kalimat syahadat di saat kritisnya, dan Pramoedya mengutus anak dan calon menantunya untuk belajar Islam kepada Hamka. Dengan ikhlas Hamka mengabulkan semua permintaan itu tanpa ada benci dan dendam. Itulah Hamka, ia bisa memaafkan dengan ikhlas beberapa tokoh yang nyata-nyata menabuh‘genderang perang’ terhadapnya.
Sementara pada akhir bagian buku ini, dijelaskan mengenai bagaimana sikap, pandangan dan perilaku Hamka di ujung usianya. Tepat di bulan Ramadhan, 18 Juli 1981 Hamka jatuh sakit dan harus di opname di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Ketika ia terbaring sakit pun, ia tetap menjaga prinsip dan keimannannya. Hal ini dibuktikan dengan sebuah piring yang berisi pasir yang digunakan Hamka untuk bertayamum ketika hendak sholat. Berdasarkan keterangan dokter, Hamka memang telah lama mengidap penyakit Diabetes Militus yang menyebabkan komplikasi pada jantungnya dan merambah pula ke bagian ginjal, paru-paru, dan saraf sentralnya.
Pada hari ketujuh Hamka dirawat dirumah sakit, dokter kepala menjelaskan kepada Irfan dan keluarga bahwa sebenarnya secara klinis, paru-paru, ginjal, otak, dan jantung Hamka sudah tidak berfungsi lagi. Alat pacu jantung yang telah lama dipasang di tubuhnya hanya berfungsi untuk bertahan saja dan tidak dapat mengubah kondisi klinis Hamka lebih baik. Oleh karena itulah, dokte memberikan dua pilihan kepada keluarga. Pertama, tetap memasang alat pacu jantung di tubuh Hamka namun jasadnya tidak akan bertahan lama. Kedua, melepas alat pacu jantungnya dan mengikhlaskan Hamka untuk bertemu sang Khaliq. Setelah berdiskusi dengan seluruh keluarga, alhasil keluarga memutuskan untuk mengikhlaskan ayah mereka untuk menghadap Allah S.W.T.
Jum’at, 24 Juli 1981, pukul 10.37, Hamka kembali Sang Pencipta. Jenazahnya pun segera dibawa pulang kerumahnya di Jalan Raden Fatah III. Ternyata berita meninggalnya Hamka ini cepat sekali tersebar diseluruh penjuru negeri. Rumah almarhum pun telah padat, ramai dipenuhi oleh orang-orang yang berta’ziyah. Terlihat pula Presiden Soeharto, Bustanil Arifin, Adam Malik,dan Azwar Anas datang melayat guna memberikan penghormatan terakhirnya pada Almarhum. Setelah dilaksanakan sholat Jum’at dan sholat jenazah di Masjid Agung, jenazah dibawa ke TPU Tanah Kusir untuk dimakamkan. Wafatnya Buya Hamka tidak hanya membawa duka yang mendalam bagi sanak saudara, family, dan kerabat dekatnya saja, namun kesedihan juga menyelimuti bangsa Indonesia. Karena di hari itu, bangsa ini kehilangan sosok ulama, sastrawan, budayawan, cendekiawan, politisi, dan pemimpin negeri ini.
Semoga setiap tetes peluh dan ilmu dan pesan yang beliau sampaikan untuk negeri ini menjadi amal yang akan selalu menjadi penolong bagi beliau. Semoga Allah ampuni segala dosa-dosanya dan berikan tempat terbaik disisiNya. Selamat Jalan Ayah, Selamat Jalan Buya Hamka.
Ya, begitulah sedikit yang bisa saya ulas dari sebuah buku yang berjudul “Ayah…” Masih banyak kisah inspiratif lainnya yang tidak bisa saya jelaskan secara detail dalam tulisan ini. Namun diluar itu semua, Semoga kita dapat memetik hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah beliau. Semoga tulisan ini dan buku “Ayah…” ini dapat bermanfaat bagi kita yang membacanya. Aamiin..
Surakarta, 03 Januari 2015
Bagian empat, lima dan enam. Kisah perjalanan haji Buya Hamka , istrinya (Ummi Hj. Siti Raham bin Rasul St. Rajo Endah) dan Irfan Hamka itu sendiri dengan kapal laut Mae Abeto (1968). Perjalanan yang mencekam ketika mereka dihadapkan pada angin topan gurun pasir, supir yang mengendarai mobil sambil tertidur dan terjangan air bah di perjalanan dari Baghdad menuju Mekkah. Alhamdulillah mereka selamat. Ajaibnya lagi, disaat ketiga bencana itu datang, terdengar seperti ribuan orang berdzikir mengikuti Hamka, Ummi, Irfan, dan supirnya.
Bagian tujuh dan delapan berisi kisah kekuatan Ummi mendampingi Hamka. Ummi ditakdirkan untuk menjadi perempuan hebat yang setia menemani Hamka. Dalam buku ini juga dikisahkan ketika Ummi mendapat hinaan dan fitnah. Pahit getir kehidupan mereka membuat Ummi menjadi ibu yang kuat dan pantang menyerah.
Bagian sembilan adalah salah satu bagian yang paling saya suka. Dalam buku ini di paparkan secara jelas perjalanan hidup Buya Hamka sejak kecil. Buya adalah putra Syekh Abdul Karim, seorang ulama dari Sumatra. Ibu Buya Hamka benama Shaffifah. Ketika kecil, ayahnya menyekolahkan Hamka disebuah sekolah desa dan pendidikan agama, yaitu Diniyah. Dalam buku ini pula dikisahkan bahwa ketika Hamka berusia 12 tahun, ayah dan ibunya bercerai. Peristiwa ini tentu membuat arah hidupnya terguncang, namun bukan Hamka namanya jika ia tak mampu bangkit kembali. Ketika berusia 13-14 tahun ia telah mampu memahami pemikiran-pemikiran Djamaluddin Al-Afghani, Mohammad Abduh, juga HOS Tjokroaminoto, KH. Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, H. Fachruddin, tokoh-tokoh berpengaruh lainnya kala itu. Kekagumannya pada tokoh-tokoh tersebut pulalah yang menjadi salah satu pendorong bagi Hamka untuk melakukan suatu peranatauan ke Tanah Jawa. Tak hanya itu, dalam buku ini irfan juga menjlaskan bahawa ayahnya tak punya diploma. Pendidikan yang tidak terlalu tinggi membuatnya ditolak di sekolah-sekolah saat ia melamar menjadi guru. Namun kegigihannya belajar membuatnya berkelana dari tanah Jawa hingga ke Mekkah. Dan akhirnya ia menerima gelar Honoris Causa dari Al-Azhar University Cairo serta menulis sebanyak 118 artikel dan buku (sastra islam, filosofi-sosial, roman, tasawuf, sejarah, biografi).
Semangat hidupnya tak hanya ia tunjukkan dari segi menuntut ilmu saja, namun juga terlihat ketika beliau benar-benar memegang teguh ajaran Islam. Hal ini dibuktikan ketika Buya Hamka memilih untuk mundur dari jabatan sebagai ketua MUI karena adanya intervensi dari pemerintah kala itu yang geram dengan fatwa MUI tentang larangan bagi umat Islam untuk mengikuti pergelaran Natal bersama yang sedang digalakkan rezim Soeharto, dimana kala itu ialah yang menjadi Ketua Umum MUI. Itulah alasan mengapa Hamka memilih mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua MUI. Namun sejak itulah sejarah mencatat satu pernyataan beliau yang sangat terkenal:
“Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah semata. Ulama yang telah menjual diri kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak mana pun. Ulama ibarat kue Bika. Dari bawah dipanggang api, dari atas pun dibakar api. Begitu juga ulama, dari bawah oleh umat, dan dari atas oleh pemerintah,”
Pada bagian ini pula terdapat kisah Hamka dengan Ir. Soekarno, Mr. Moh. Yamin, dan Pramoedya Ananta Toer. Pada tahun 1964-1966, selama 2 tahun 4 bulam, Hamka di tahan atas tuduhan pelanggaran Undang-undang Anti Subersif Pempres No. 11, yang berisikan tuduhan perencanaan pembunuhan Presiden Soekarno. Hamka baru dibebaskan setelah jatuhnya rezim Soekarno yang digantikan oleh Soeharto. Tak hanya dengan Soekarno, ia pun juga memiliki beberapa kisah dengan Moh. Yamin. Pada tahun 1955-1957, Buya Hamka menjadi anggota Konstituante dari fraksi Partai Masyumi yang terlibat langsung dalam merumuskan dasar Negara Indonesia. Ketika itu terdapat dua pilihan untuk menjadikan Pancasila atau Islam sebagai dasar Negara. Alhasil dari perbedaan tersebut munculah dua kubu yang sama kuat antara front pembela Islam dari golongan Partai Masyumi dan front pembela Pancasila dari golongan Partai Nasional Indonesia (PNI). Lagi-lagi, Hamka adalah sosok yang tidak pernah toleran bila telah menyangkut masalah prinsip dan aqidah. Ia pun dengan tegas mengatakan “Bila Negara kita ini mengambil dasar Negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!” Mendengar penyataan tersebut, tentu saja Moh. Yamin yang berada pada kubu Pancasila sangat terkejut. Dan sejak insiden itulah amarah dan rasa bencinya pada Hamka mulai membuncah.
Selain itu, Irfan juga menceritakan hubungan Hamka dengan Pramoedya Ananta Toer. Pada awal tahun 1963, terbitlah Koran Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur, dua buah surat kabar komunis yang berhasil menggemparkan dunia sastra dengan artikelnya yang memberitakan bahwa “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” merupakan hasil jiplakan pengarang Hamka. Serta pada Koran Harian Bintang Timur memberitakan bahwa Hamka mencuri sebuah karangan asli dari murid asuhan Pramoedya Ananta Toer, Alvonso care. Selama berbulan-bulan, Hamka terus menerus difitnah dengan berita-berita yang diterbitkan oleh kedua koran tersebut.
Dari ketiga kisah tersebut, ketiga tokoh tersebut terang-terangan membuat kehidupan Hamka dirudung kesulitan selama beberapa tahun. Karena Soekarno, Hamka dipenjara selama 2,4 tahun. Karena Moh. Yamin dan Pramoedya, Hamka dijatuhkan image dan harga dirinya. Namun, di akhir sisa hidup, Soekarno malah meminta Hamka menjadi imam jika ajal menjemputnya. Moh.Yamin memohon Hamka berkenan membimbing kalimat syahadat di saat kritisnya, dan Pramoedya mengutus anak dan calon menantunya untuk belajar Islam kepada Hamka. Dengan ikhlas Hamka mengabulkan semua permintaan itu tanpa ada benci dan dendam. Itulah Hamka, ia bisa memaafkan dengan ikhlas beberapa tokoh yang nyata-nyata menabuh‘genderang perang’ terhadapnya.
Sementara pada akhir bagian buku ini, dijelaskan mengenai bagaimana sikap, pandangan dan perilaku Hamka di ujung usianya. Tepat di bulan Ramadhan, 18 Juli 1981 Hamka jatuh sakit dan harus di opname di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Ketika ia terbaring sakit pun, ia tetap menjaga prinsip dan keimannannya. Hal ini dibuktikan dengan sebuah piring yang berisi pasir yang digunakan Hamka untuk bertayamum ketika hendak sholat. Berdasarkan keterangan dokter, Hamka memang telah lama mengidap penyakit Diabetes Militus yang menyebabkan komplikasi pada jantungnya dan merambah pula ke bagian ginjal, paru-paru, dan saraf sentralnya.
Pada hari ketujuh Hamka dirawat dirumah sakit, dokter kepala menjelaskan kepada Irfan dan keluarga bahwa sebenarnya secara klinis, paru-paru, ginjal, otak, dan jantung Hamka sudah tidak berfungsi lagi. Alat pacu jantung yang telah lama dipasang di tubuhnya hanya berfungsi untuk bertahan saja dan tidak dapat mengubah kondisi klinis Hamka lebih baik. Oleh karena itulah, dokte memberikan dua pilihan kepada keluarga. Pertama, tetap memasang alat pacu jantung di tubuh Hamka namun jasadnya tidak akan bertahan lama. Kedua, melepas alat pacu jantungnya dan mengikhlaskan Hamka untuk bertemu sang Khaliq. Setelah berdiskusi dengan seluruh keluarga, alhasil keluarga memutuskan untuk mengikhlaskan ayah mereka untuk menghadap Allah S.W.T.
Jum’at, 24 Juli 1981, pukul 10.37, Hamka kembali Sang Pencipta. Jenazahnya pun segera dibawa pulang kerumahnya di Jalan Raden Fatah III. Ternyata berita meninggalnya Hamka ini cepat sekali tersebar diseluruh penjuru negeri. Rumah almarhum pun telah padat, ramai dipenuhi oleh orang-orang yang berta’ziyah. Terlihat pula Presiden Soeharto, Bustanil Arifin, Adam Malik,dan Azwar Anas datang melayat guna memberikan penghormatan terakhirnya pada Almarhum. Setelah dilaksanakan sholat Jum’at dan sholat jenazah di Masjid Agung, jenazah dibawa ke TPU Tanah Kusir untuk dimakamkan. Wafatnya Buya Hamka tidak hanya membawa duka yang mendalam bagi sanak saudara, family, dan kerabat dekatnya saja, namun kesedihan juga menyelimuti bangsa Indonesia. Karena di hari itu, bangsa ini kehilangan sosok ulama, sastrawan, budayawan, cendekiawan, politisi, dan pemimpin negeri ini.
Semoga setiap tetes peluh dan ilmu dan pesan yang beliau sampaikan untuk negeri ini menjadi amal yang akan selalu menjadi penolong bagi beliau. Semoga Allah ampuni segala dosa-dosanya dan berikan tempat terbaik disisiNya. Selamat Jalan Ayah, Selamat Jalan Buya Hamka.
Ya, begitulah sedikit yang bisa saya ulas dari sebuah buku yang berjudul “Ayah…” Masih banyak kisah inspiratif lainnya yang tidak bisa saya jelaskan secara detail dalam tulisan ini. Namun diluar itu semua, Semoga kita dapat memetik hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah beliau. Semoga tulisan ini dan buku “Ayah…” ini dapat bermanfaat bagi kita yang membacanya. Aamiin..
Surakarta, 03 Januari 2015
02:47
Cos Ma’arif H. L
Cosmaaaaa, mau dong baca buku iniiii....
ReplyDeleteHaha, boleh boleehh.. aku juga mau pinjem buku2mu zahh, terutama buku yang bisa bikin galau :D
ReplyDelete