Orang bilang anakku seorang aktivis. Kata
mereka namanya tersohor dikampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis.
Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku
seorang aktivis. Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak? Ibu bilang engkau
hanya seorang putri kecil ibu yang lugu.
Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang
aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis. Dengan segala
kesibukkanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi
dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah
menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak? Sungguh
setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan
waktu bersamamu nak, tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang
sia-sia.
Anakku, kita memang berada disatu atap,di atap
yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini dimanakah
rumahmu nak? Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu
tunggu kehadiranmu dirumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu.
Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari
ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu
merindukanmu. Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau
begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk
ibu. Atau jangankan untuk tersenyum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada
ibumu saja engkau tak sempat, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline.
Padahal, andai kau tahu nak, ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari
ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasehat yang ibu yakin
engkau pasti lebih tahu. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak, tapi
bukankah aku ini ibumu? yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam
rahimku.
Anakku, ibu mendengar engkau sedang
begitu sibuk nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu,
engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat
peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu. Namun, sebagian hati ibu mulai
bertanya nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak? Apakah
engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu?
kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak? Apakah adik-adikmu
ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?
Anakku, ibu sungguh sedih mendengar
ucapanmu. Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan
waktu dengan keluargamu. Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak
akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan
berbagai amanah yang harus kau lakukan. Tapi bukankah keluargamu ini adalah
tugasmu juga nak? bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau
jaga nak?
Anakku, ibu mencoba membuka buku
agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu padat, ada rapat disana
sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu
membuka lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan
mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu
berharap bahwa nama ibu ada disana. Ternyata memang tak ada nak, tak ada agenda
untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal
nak, andai engkau tahu sejak kau ada dirahim ibu tak ada cita dan agenda yang
lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu, putri kecilku.
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang
engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh ibu bertanya nak, dimana
profesionalitasmu untuk ibu? dimana profesionalitasmu untuk keluarga? Dimana
engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat? Ah,waktumu
terlalu mahal nak. Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar
engkau bisa bersama ibu.
Setiap pertemuan pasti akan menemukan
akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kaka dan adik.
Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang, jangan
sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang
juga masih malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat
teruntai. Untuk mereka yang kasih sayangnya tak kan pernah putus, untuk
mereka sang penopang semangat juang ini. Saksikanlah, bahwa tak ada yang
lebih berarti dari ridha mereka atas segala aktivitas yang kita lakukan. Karena
tanpa ridha mereka, Mustahil kuperoleh ridhaNya.
Comments
Post a Comment