Skip to main content

Mana Hak Suara Kami? Ini Pendidikan politik, Bukan Politisasi Pendidikan!


Berbicara mengenai Pemilihan rektor, ternyata Universitas Sebelas Maret kita tercinta ini pun juga tengah melaksanakan hajatan besar tersebut. Ya, pergantian rektor ini memang selalu diharapkan membawa angin perubahan bagi setiap universitas menuju ke strata yang lebih baik. Dengan adanya pemimpin baru, sudah pasti pula ada harapan baru dari seluruh civitas akademika. Namun sayangnya, saya selaku mahasiswa mempunyai kejanggalan dalam pemilihan rektor yang selama ini prosedurnya telah ditentukan oleh pemerintah pusat.

Rektor, adalah sebuah gelar yang disandang bagi pemimpin suatu universitas. Menduduki jabatan sebagai rektor pada hakikatnya “seharusnya” bukanlah menjadi jabatan politis. Namun kenyataannya pada hari ini, tahapan dalam merebutkan kursi rektor masih harus melalui mekanisme politis, yaitu dengan adanya hak dipilih dan memilih. Sebenarnya, letak permasalahannya bukan pada ada atau tidaknya hak dipilih dan memilih tersebut. Hanya saja politisasi pendidikan yang secara inplisit terjdi melalui hak-hak itulah yang menjadikan politik menodai pendidikan di negeri ini.

Pemilihan rektor, terutama untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, hingga saatini masih bersandar pada Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan No. 33 tahun 2012, dimana peraturan tersebut akan dijabarkan dan dijelaskan secara lebih detail dalam Peraturan Rektor yang dibuat oleh internal masing-masing kampus untuk diimplementasikan.

Berbicara mengenai hak dipilih, berdasarkan pada Peraturan Rektor Universitas Sebelas Maret Nomor: 514/UN27/HK/2014 BABII pasal 2, pada dasarnya setiap dosen tetap yang telah memenuhi persyaratan tersebut mempunyai hak untuk dipilih, dengan catatan ia bersedia menjadi rektor yang dinyatakan melalui sebuah form kesediaan menjadi bakal calon rektor di universitas tersebut. Walau pada dasarnya, pertarungan dalam merebutkan kursi rektor biasanya cenderung berasal dari dua atau tiga kekuatan yang memang nama-nama mereka telah mengakar kuat dan tercatat dalam sejarah di universitas tersebut melalui rekam jejak dan sepak terjangnya selama ini. Munculnya nama-nama baru sering tidak mampu menembus hingga tahap akhir. Pendatang baru bisa dikatakan hanya sebagai pelengkap formalitas dalam aturan main pemilihan rektor tersebut. Itulah mengapa animo peminat untuk mendaftar dalam pemilihan rektor sangatlah sepi. Bisa dibayangkan, dari sekian ratus dosen tetap di suatu universitas, rata-rata (bisa jadi maksimal) hanya akan mencapai angka belasan orang sebagai pendaftar bakal calon rektor.

Ya, jika dilihat dari hal tersebut, sebenarnya pemilihan rektor berawal dari suatu hal yang sesederhana itu, asalkan ia memenuhi syarat dan bersedia, setiap dosen tetap memiliki peluang untuk menjadi bakal calon rektor. Namun untuk menuju ke tahap selanjutnya, nasib dari para bakal calon tersebut akan ditentukan oleh orang-orang yang memiliki hak memilih. Lantas, siapa sajakah orang-orang yang mempunyai hak memilih tersebut? Hak memilih tersebut saat ini“hanya” dipegang oleh senat dan wakil dari menristekdikti. Pemilihan calon rektor dilaksanakan melalui pemungutan suara oleh senat dan menteri atau pejabat yang diberi kuasa oleh menteri dalam sidang senat tertutup.

Dalam hal ini, senat memiliki hak suara sebesar65% dan mentri mendapat jatah suara 35%. Senat itu sendiri terdiri dari guru besar, perwakilan dari tiap fakultas dan Emeritus (guru besar kehormatan). Sebenarnya saya juga tidak terlalu tahu mengapa mentri mendapat jatah suara 35% dan senat memiliki jatah suara 65%. Namun berdasarkan analisis saya selaku orang awam, mungkin mentri mendapat hak suara35% dikarenakan memang pada dasarnya PTN adalah milik pemerintah, dimana dalam konteks ini pemerintah yang dimaksud adalah menristekdikti. Maka menjadi hal yang wajar ketik seorang“pemilik” memang sepatutnya mempunyai hak suara akan sesuatu yang dimilikinya. Namun disamping itu, mungkin hal ini juga mempresentasikan akan adanya birokrasi. Sehingga, selain memiliki tugas dan fungsi sebagai pemimpin akademisi dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi serta birokrat kampus, rektor juga memiliki peran tambahan sebagai birokrat yang menjalankan sistem birokrasi di kementrian riset teknologi dan pendidikan tinggi.

Bertitik tolak pada perbandingan hak suara antara mentri dan senat, disini terlihat bahwa senat memiliki hak suara yang lebih dominan jika dibandingkan dengan mentri. Perbandingan yang lebih dominan ini,“diharapkan” melalui hasil suara dari pihak senat inilah akan terpilih rektor yang mampu menjadi “akademisi birokrat” bukan “birokrat akademisi”. Jika setiap senat menyadari betul akan hakikatini, maka harapannya rektor “akademisi birokrat” dapat terpilih. Namun lagi-lagi, sayangnya kebanyakan senat lebih mempertimbangkan dan memilih calon senat yang memiliki basic lebih kuat untuk menjadi birokrat akademisi. Ya,walaupun memang dalam kesehariannya pun seorang rektor mau tidak mau akan lebih terlihat sebagai birokrat, dimana dalam kesehariannya ia harus berkutat dengan tugas-tugas administrative tata kelola universitas. Namun entahlah, benar atau salah, saya hanya orang awam yang mencoba menerka-nerka dari realitas yang terlihat.

Kembali dalam pembahasan siapa saja yang memegang hak suara akan pemilihan rektor ini,sekarang pertanyaannya adalah, lantas bagaimana dengan mahasiswa dan civitas akademika lainnya yang status mereka tidak tergolong dalam daftar pemilih?

Berdasarkan kacamata saya sebagai mahasiswa, ada yang harus digaris bawahi dari limitasi hak memilih yang hanya ditujukan oleh mentri dan senat. Itulah yang menjadi alasan mengapa saya masih merasa janggal dengan prosedur dalam pemilihan rektor tersebut. Selaku mahasiswa, ada sutu harapan dasar yang saya rasa belum dicantumkan dalam peraturan tersebut. Entah hal tersebut hanya merupakan harapan saya pribadi, atau bahkan bisa jadi merupakan harapan seluruh mahasiswa yang belum sempat tersampaikan, baik itu ke telinga pemerintah pusat maupun senat universitas selaku pemegang kuasa penuh dalam pelaksanaan pemilihan rektor. Harapan tersebut adalah adanya hak suara bagi mahasiswa. Hal ini saya sampaikan karena memang hingga detik ini saya masih mendengar celotehan teman-teman mahasiswa yang seolah-olah hak suara mereka dibungkam dalam hajatan besar ini. Padahal, hajatan besar ini nantinya akan memiliki dampak yang begitu besar dalam menjalankan roda kebijakan universitas, karena setiap kebijakan yang diambil rektor pasti akan dirasakan oleh seluruh civitas akadimka kampus, baik itu pihak birokrat,mahasiswa, bahkan staff dan karyawan yang ada di dalamnya.

Memang,hak memilih dengan menggunakan system perwakilan seperti yang telah dijelaskan diatas pada dasarnya lebih sederhana bila dibanding dengan pemilihan langsung oleh civitas academika, baik itu dari segi keefektifan tenaga, waktu, maupun biaya. Dengan system yang seperti ini, maka siapapun bakal calon rektor yang mampu merebut simpati dan empati dari anggota senat dan mentri ataupun wakil kementrian akan dapat dengan mudah memenangkan hajatan besar ini dan melenggang sebagai rektor universitas. Namun,simpati dan empati bisa datang dari mana saja. Ketika hak pilih itu digunakan dengan berdasarkan simpati akan kredibilitas dan kapabilitas yang dimiliki oleh bakal calon tersebut, saya yakin, walaupun hanya melalui hak suara yang terbatas dari senat dan mentri, maka kita pun akan tetap mendapatkan rektor yang acceptable. Dan itulah yang coba saya yakini selama ini.

Namun realitas yang selama ini terjadi, ternyata banyak lingkungan elite kampus yang terintervensi dengan yang namanya politik praktis. Simpati yang bersandar atas kredibilitas dan kapabilitas dapat saja dikalahkan dengan hal-hal lain yang menjadikan terjadinya politisasi pendidikan. Misalnya, berawal dari adanya politik uang dan politik transaksional, bisa saja membuat system tersebut tidak mampu berjalan dengan semestinya. Walau memang kenyataannya tidak ada politik dalam kampus, namun ajang suksesi kepemimpinan di kampus dapat pula menjadi gerbang ajang pertarungan antar kekuatan-kekuatan politik semu dengan kepentingannya masing-masing diluar sana.

Sebenarnya saya tidak pernah ingin berfikiran negative akan pemilihan rektor yang selama ini dilakukan di seluruh universitas di Indonesia, namun yang saya khawatirkan,simpati dan empati itu datangnya dari hal yang tidak diharapkan. Saya hanya takut, jika nanti para bakal calon rektor menggunakan trik-trik politik yang biasa digunakan para “politikus”untuk mengapproach para senator dan kementrian demi mendulang suara. Sehingga yang terjadi, rektor terpilih bukanlah rektor pilihan civitas akademika, namun rektor tersebut merupakan pilihan pemangku kepentingan politik di luar sana.
Jika terus menerus seperti ini, maka jangan heran jika mahasiswa selalu mengkritisi setiap kinerja dan kebijakan yang tengah dilakukan oleh rektor ketika ia menjabat, karena memang dalam keberjalannya terkadang masih banyak kebijakan rektor yang belum sepenuhnya sesuai dengan harapan mahasiswa.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi timbulnya kegaduhan atau kritik tajam yang“seolah” menjadikan mahasiswa sebagai figur yang antipati terhadap setiap kebijakan rektor, seharusnya sejak awal pemilihan rektor, mahasiswa perlu dilibatkan di dalamnya. Hal ini dimaksudkan agar rektor yang terpilih nantinya merupakan rektor pilihan mahasiswa, dimana mahasiswa merupakan rakyat dengan persentase terbesar dalam lingkup universitas.
Perlu kita sadari bahwa setiap permasalahan yang timbul nantinya akan dikembalikan lagi pada aturan hukum yang digunakan sebagai acuan dalam mencari solusinya. Maka, baik sebelum menetapkan mekanisme pemilihan rektor, maupun sebelum menetapkan kebijakan yang dituangkan dalam visi misi dan program kerja jika nanti rektor tersebut terpilih, maka perlu dibentuk sebuah aturan yang benar dan responsive, dimana aturan tersebut memuat dan mengatur keterlibatan serta peran aktif mahasiswa dalam pengambilan suatu keputusan dan penetapan sebuah kebijakan.

Di luar itu semua, tulisan ini saya tulis bukan semata-mata untuk mencari noda hitam dalam mekanisme pemilihan rektor selama ini. Tujuan utama saya membuat tulisan ini adalah untuk menyalurkan suara hati saya selaku mahasiswa (atau bahkan bisa jadi suarahati seluruh mahasiswa juga), agar suara kami juga didengar, sehingga kekhawatiran dan ketakutan kami akan adanya politisasi pendidikan tidak terjadidi kampus kita tercinta ini. Semoga siapapun nantinya yang akan menjadi rektor UNS, beliau dapat membawa UNSmenjadi sebuah universitas yang mampu mensejahterakan kehidupan seluruh civitas akademikanya, serta mampu mengakselerasi reputasi UNS ke tingkat internasional menuju World Class University.

 Berbicara mengenai Pemilihan rector, ternyata Universitas Sebelas Maret kita tercinta ini pun juga tengah melaksanakan hajatan besar tersebut.  Ya, pergantian rector ini memang selalu diharapkan membawa angin perubahan bagi setiap universitas menuju ke strata yang lebih baik.  Dengan adanya pemimpin baru, sudah pasti pula ada harapan baru dari seluruh civias akademika. Namun sayangnya, saya selaku mahasiswa mempunyai kejanggalan dalam pemilihan rector yang selama ini prosedurnya telah ditentukan oleh pemerintah pusat.

Rektor, adalah sebuah gelar yang disandang bagi pemimpin suatu universitas. Menduduki jabatan sebagai rektor pada hakikatnya “seharusnya” bukanlah menjadi jabatan politis. Namun kenyataannya pada hari ini, tahapan dalam merebutkan kursi rector masih harus melalui mekanisme politis, yaitu dengan adanya hak dipilih dan memilih. Sebenarnya, letak permasalahannya bukan pada ada atau tidaknya hak dipilih dan memilih tersebut. Hanya saja politisasi pendidikan yang secara inplisit terjdi melalui hak-hak itulah yang menjadikan politik menodai pendidikan di negeri ini.

Pemilihan rector, terutama untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, hingga saat ini masih bersandar pada Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan No.  33 tahun 2012, dimana peraturan tersebut akan dijabarkan dan dijelaskan secara lebih detail dalam Peraturan Rektor yang dibuat oleh internal masing-masing kampus untuk diimplementasikan.

Berbicara mengenai hak dipilih, berdasarkan pada Peraturan  Rektor Universitas  Sebelas  Maret Nomor:  514/UN27/HK/2014 BAB II pasal 2, pada dasarnyasetiap dosen tetap yang telah memenuhi persyaratan tersebut mempunyai hak untuk dipilih, dengan catatan ia bersedia menjadi rector yang dinyatakan melalui sebuah form kesediaan menjadi bakal calon rector di universitas tersebut.  Walau pada dasarnya, pertarungan dalam merebutkan kursi rector biasanya cenderung berasal dari dua atau tiga kekuatan yang memang nama-nama mereka telah mengakar kuat dan tercatat dalam sejarah di universitas terebut melalui rekam jejak dan sepak terjangnya selama ini. Munculnya nama-nama baru sering tidak mampu menembus hingga tahap akhir. Pendatang baru bisa dikatakan hanya sebagai pelengkap formalitas dalam aturan main pemilihan rector tersebut. Itulah mengapa animo peminat untuk mendaftar dalam pemilihan rector sangatlah sepi.  Bisa dibayangkan, dari sekian ratus dosen tetap disuatu universitas, rata-rata (bisa jadi maksimal) hanya akan mencapai angka belasan orang sebagai pendaftar bakal calon rektor.

Ya, jika dilihat dari hal tersebut, sebenarnya pemilihan rector berawal dari suatu hal yang sesederhana itu, asalkan ia memenuhi syarat dan bersedia, setiap dosen tetap memiliki peluang untuk menjadi bakal calon rector.  Namun untuk menuju ke tahap selanjutnya, nasib dari para bakal calon tersebut akan ditentukan oleh orang-orang yang memiliki hak memilih.  Lantas, siapa sajakah orang-orang yang mempunyai hak memilih tersebut? Hak memilih tersebut saat ini “hanya” dipegang oleh senat dan wakil dari menristekdikti. Pemilihan  calon  rektor  dilaksanakan  melalui  pemungutan  suara  oleh senat dan menteri  atau  pejabat  yang  diberi  kuasa  oleh  menteri  dalam  sidang  senat tertutup.  

Dalam hal ini, senat memiliki hak suara sebesar 65% dan mentri mendapat jatah suara 35%. Senat itu sendiri terdiri dari guru besar, perwakilan dari tiap fakultas dan Emeritus (guru besar kehormatan). Sebenarnya saya juga tidak terlalu tahu mengapa mentri mendapt jatah suara 35% dan senat memiliki jatah suara 65%.  Namun berdasarkan analisis saya selaku orang awam, mungkin mentri mendapat hak suara 35% dikarenakan memang pada dasarnya PTN adalah milik pemerintah, dimana dalam konteks ini pemerintah yang dimaksud adalah menristekdikti.  Maka menjadi hal yang wajar ketik seorang “pemilik” memang sepatutnya mempunyai hak suara akan sesuatu yang dimilikinya.  Namun disamping itu, mungkin hal ini juga mempresentasikan akan adanya birokrasi.  Sehingga, selain memiliki tugas dan fungsi sebagi pemimpin akademisi dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi serta birokrat kampus, rector juga memiliki peran tambahan sebagai birokrat yang menjalankan system birokrasi di kementrian riset teknologi dan penidikan tinggi.

Bertitik tolak pada perbandingan hak suara antara mentri dan senat, disini terlihat bahwa senat memiliki hak suara yang lebih dominan jika dibandingkan dengan mentri.  Perbandingan yang lebih dominan ini, “diharapkan” melalui hasil suara dari pihak senat inilah akan terpilih rector yang mampu menjadi “akademisi birokrat” bukan “birokrat akademisi”.  Jika setiap senat menyadari betul akan hakikat ini, maka harapannya rector “akademisi birokrat” dapat terpilih.  Namun lagi-lagi, sayangnya kebanyakan senat lebih mempertimbangkan dan memilih calon senat yang memiliki basic lebih kuat untuk menjadi birokrat akademisi.  Ya, walaupun memang dalam kesehariannya pun seorang rector mau tidak mau akan lebih terlihat sebagai birokrat, dimana dalam kesehariannya ia harus berkutat dengan tugas-tugas administrative tata kelola universitas.  Namun entahlah, benar atau salah, saya hanya orang awam yang mencoba menerka-nerka dari realitas yang terlihat.

Kembali dalam pembahasan siapa saja yang memegang hak suara akan pemilihan rector ini,sekarang pertanyaannya adalah, lantas bagaimana dengan mahasiswa dan civitas akademika lainnya yang status mereka tidak tergolong dalam daftar pemilih?

Berdasarkan kacamata saya sebagai mahasiswa, ada yang harus digaris bawahi dari limitasi hak memilih yang hanya ditujukan oleh mentri dan senat. Itulah yang menjadi alasan mengapa saya masih merasa janggal dengan prosedur dalam pemilihan rector tersebut. Selaku mahasiswa, ada sutu harapan dasar yang saya rasa belum dicantumkan dalam peraturan tersebut. Entah hal tersebut hanya merupakan harapan saya pribadi, atau bahkan bisa jadi merupakan harapan seluruh mahasiswa yang belum sempat tersampaikan, baik itu ke telinga pemerintah pusat maupun senat universitas selaku pemegang kuasa penuh dalam pelaksanaan pemilihan rector. Harapan tersebutadalahadanya hak suara bagi mahasiswa. Hal ini saya sampaikan karena memang hingga detik ini saya masih mendengar celotehan teman-teman mahasiswa yang seolah-olah hak suara mereka dibungkam dalam hajatan besar ini.  Padahal, hajatan besar ini nantinya akan memiliki dampak yang begitu besar dalam menjalankan roda kebijakan universitas, karena setiap kebijakan yang diambil rector pasti akan dirasakan oleh seluruh civitas akadimka kampus, baik itu pihak birokrat, mahasiswa, bahkan staff dan karyawan yang ada di dalamnya.

Memang, hak memilih dengan menggunakan system perwakilan seperti yang telah dijelaskan diatas pada dasarnya lebih sederhana bila dibanding dengan pemilihan langsung oleh civitas academika, baik itu dari segi keefektifan tenaga, waktu, maupun biaya. Dengan system yang seperti ini, maka siapapun bakal calon rector yang mampu merebut simpati dan empati dari anggota senat dan mentri ataupun wakil kementrian akan dapat dengan mudah memenangkan hajatan besar ini dan melenggang sebagai rector universitas.  Namun, simpati dan empati bisa datang dari mana saja.  Ketika hak pilih itu digunakan dengan berdasarkan simpati akankredibilitas dan kapabilitas yang dimiliki oleh bakal calon tersebut, saya yakin, walaupun hanya melalui hak suara yang terbatas dari senat dan mentri, maka kita pun akan tetap mendapatkan rector yang acceptable.  Dan itulah yang coba saya yakini selama ini.

Namun realitas yang selama ini terjadi, ternyata banyak lingkungan elite kampus yang terintervensi dengan yang namanya politik praktis. Simpati yang bersandar atas kredibilitas dan kapabilitas dapat saja dikalahkan dengan hal-hal lain yang menjadikan terjadinya politisasi pendidikan. Misalnya, berawal dari adanya politik uang dan politik transaksional, bisa saja membuat system tersebut tidak mampu berjalan dengan semestinya.  Walau memang kenyataannya tidak ada politik dalam kampus, namun ajang suksesi kepemimpinan di kampus dapat pula menjadi gerbang ajang pertarungan antar kekuatan-kekuatan politik semu dengan kepentingannya masing-masing diluar sana.  

Sebenarnya saya tidak pernah ingin berfikiran negative akan pemilihan rector yang selama ini dilakukan di seluruh universitas di Indonesia, namun yang saya khawatirkan, simpati dan empati itu datangnya dari hal yang tidak diharapkan.  Saya hanya takut, jika nanti para bakal calon rector menggunakan trik-trik politik yang biasa digunakan para “politikus” untuk mengapproach para senator dan kementrian demi mendulang suara. Sehingga yang terjadi, rector terpilih bukanlah rector pilihan civitas akademika, namun rector tersebut merupakan pilihan pemangku kepentingan politik di luar sana.

Jika terus menerus seperti ini, maka jangan heran jika mahasiwa selalu mengkritisi setiap kinerja dan kebijakan yang tengah dilakukan oleh rector ketika ia menjabat, karena memang dalam keberjalannya terkadang masih banyak kebijakan rector yang belum sepenuhnya sesuai dengan harapan mahasiswa.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi timbulnya kegaduhan atau kritik tajam yang “seolah” menjadikan mahasiwa sebagai figure yang antipati terhadap setiap kebijakan rector, seharusnya sejak awal pemilihan rector, mahasiswa perlu dilibatkan didalamnya. Hal ini dimaksudkan agar rector yang terpilih nantinya merupakan rector pilihan mahasiswa, dimana mahasiswa merupakan rakyat dengan persentase terbesar dalam lingkup universitas.

Perlu kita sadari bahwa setiap permasalahan yang timbul nantinya akan dikembalikan lagi pada aturan hukum yang digunakan sebagai acuan dalam mencari solusinya.  Maka, baik sebelum menetapkan mekanisme pemilihan rektor, maupun sebelum menetapkan kebijakan yang dituangkan dalam visi misi dan program kerja jika nanti rector tersebut terpilih, maka perlu dibentuk sebuah aturan yang benar dan responsive, dimana aturan tersebut memuat dan mengatur keterlibatan serta peran aktif mahasiswa dalam pengambilan suatu keputusan dan penetapan sebuah kebijakan.

Diluar itu semua, tulisan ini saya tulis bukan semata-mata untuk mencari noda hitam dalam mekanisme pemilihan rectorselama ini.  Tujuan utama saya membuat tulisan ini adalah untuk menyalurkan suara hati saya selaku mahasiswa (atau bahkan bisa jadi suara hati seluruh mahasiswa juga), agar suara kami juga didengar, sehingga kekhawatiran dan ketakutan kami akan adanya politisasi pendidikan tidak terjadi di kampus kita tercinta ini.  Semoga siapapun nantinya yang akan menjadi rector UNS, beliau dapat membawa UNS menjadi sebuah universitas yang mampu mensejahterakan kehidupan seluruh civitas akademikanya, serta mampu mengakselerasi  reputasi UNS ke tingkat internasional menuju World Class University.
#WhoTheNextLeader

Surakarta, 12 Januari 2015 
19:18 
Cos Ma’arif H.  L


Comments

Popular posts from this blog

Urgensi Lembaga Legislatif dalam Dinamika Politik Kampus

Seiring dengan makin dikenalnya istilah student governence di lingkungan kampus, tentunya akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang apa sebenarnya student governance atau yang kita artikan sebagai pemerintahan mahasiswa. Disamping itu, pengkajian terhadap setiap tugas, peran dan fungsi dari tiap-tiap lembaga tersebut wajib kita ilhami dengan baik, sehingga sistem baku yang telah dibentuk dalam lingkungan kampus ini dapat berjalan secara dinamis dan sinergis dalam mewujudkan pemerintahan mahasiswa. Layaknya sebuah pemerintahan negara, “organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa”. Berangkat dari landasan tersebut, tentunya dapat kita simpulkan bahwa prinsip “dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa” merupakan prinsip dasar dalam kehidupan mahasiswa. Untuk itu diperlukan suatu tatanan sistem organisasi mahasiswa untuk menjalankan prinsip-prinsip tersebut. Sistem student governe...

Yaa Muqollibal Qulub, Tsabit Qolbii 'ala Diinik

Ya, Rabb.. Bersama senja, Kau ketuk lagi hati ini. Hati yang tengah mencari arti dalam jalan yang sunyi. Kau getarkan kembali hati ini, ketika ia tengah nyaris mati tak berdetak. Kau hadirkan lagi memori itu, saat kami berada pada satu garis perjuangan yang sama. Kau ingatkan kembali pada sebuah janji yang sempat teruntai bersama tangis air mata dan doa. Yaa, Rabb. Tanpa kusampaikan lewat barisan kata pun, aku yakin, Kau mengerti apa yang ditanyakan oleh segumpal daging yang ada didalam raga ini. Aku mencintai Mu, namun bagaimana dengan ridho orang tua ku? Hendak kemana aku mencari jawaban atas kegelisahn hati ini? Aku ingin berjalan dijalan Mu. Sungguh, benar-benar ingin… Namun sungguh, aku tak tahu, hendak ku langkahkan pada persimpangn jalan yang mana langkah kaki ini. Aku hanya takut, aku salah dalam mengambil keputusan. Ketika jalan ini kau buka dengan lapang untuk menjadi jalanku untuk lebih mudah menggapai cintaMu, justru aku sia-siakan dan tutup rapat karena ketidaktah...

PPG Jalur Instan Mencetak Guru Profesional (?)

Hmm, lagi-lagi pingin membahas masalah PPG. Walaupun masalah PPG ini sudah pernah saya bahas di tulisan terdahulu dalam blog ini, boleh deh kita bahas lagi. Mumpung lagi panas :) Berbicara mengenai pengahapusan akta 4 per Juni 2014 bagi mahasiswa FKIP UNS, pasti erat hubungannya dengan isu PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang menjadi momok dan pembicaran panas di kalangan mahasiswa FKIP. PPG merupakan pendidikan lanjutan bagi setiap mahasiswa lulusan Kependidikan maupun Non   Kependidikan yang ingin tersertifikasi menjadi guru profesional.  Menurut wacana, lulusan mahasiswa FKIP mulai Juni, 2014 tidak lagi mendapatkan akta 4 sebagai syarat mereka untuk mengajar. Lantas bagaimanakah nasib para lulusan FKIP di tahun 2015 dan setelahnya? Apakah cita-cita luhur mereka untuk dapat menjadi seorang pendidik dan mengabdi pada negeri harus pupus? Ternyata pemerintah menjawab tidak. Dengan dihapusnya akta 4, pemerinah telah menyiapkan gantinya dengan mengeluarkan kebijaan unt...