Berbicara mengenai Pemilihan rektor, ternyata Universitas Sebelas Maret kita tercinta ini pun juga tengah melaksanakan hajatan besar tersebut. Ya, pergantian rektor ini memang selalu diharapkan membawa angin perubahan bagi setiap universitas menuju ke strata yang lebih baik. Dengan adanya pemimpin baru, sudah pasti pula ada harapan baru dari seluruh civitas akademika. Namun sayangnya, saya selaku mahasiswa mempunyai kejanggalan dalam pemilihan rektor yang selama ini prosedurnya telah ditentukan oleh pemerintah pusat.
Rektor, adalah sebuah gelar yang disandang bagi pemimpin suatu universitas. Menduduki jabatan sebagai rektor pada hakikatnya “seharusnya” bukanlah menjadi jabatan politis. Namun kenyataannya pada hari ini, tahapan dalam merebutkan kursi rektor masih harus melalui mekanisme politis, yaitu dengan adanya hak dipilih dan memilih. Sebenarnya, letak permasalahannya bukan pada ada atau tidaknya hak dipilih dan memilih tersebut. Hanya saja politisasi pendidikan yang secara inplisit terjdi melalui hak-hak itulah yang menjadikan politik menodai pendidikan di negeri ini.
Pemilihan rektor, terutama untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, hingga saatini masih bersandar pada Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan No. 33 tahun 2012, dimana peraturan tersebut akan dijabarkan dan dijelaskan secara lebih detail dalam Peraturan Rektor yang dibuat oleh internal masing-masing kampus untuk diimplementasikan.
Berbicara mengenai hak dipilih, berdasarkan pada Peraturan Rektor Universitas Sebelas Maret Nomor: 514/UN27/HK/2014 BABII pasal 2, pada dasarnya setiap dosen tetap yang telah memenuhi persyaratan tersebut mempunyai hak untuk dipilih, dengan catatan ia bersedia menjadi rektor yang dinyatakan melalui sebuah form kesediaan menjadi bakal calon rektor di universitas tersebut. Walau pada dasarnya, pertarungan dalam merebutkan kursi rektor biasanya cenderung berasal dari dua atau tiga kekuatan yang memang nama-nama mereka telah mengakar kuat dan tercatat dalam sejarah di universitas tersebut melalui rekam jejak dan sepak terjangnya selama ini. Munculnya nama-nama baru sering tidak mampu menembus hingga tahap akhir. Pendatang baru bisa dikatakan hanya sebagai pelengkap formalitas dalam aturan main pemilihan rektor tersebut. Itulah mengapa animo peminat untuk mendaftar dalam pemilihan rektor sangatlah sepi. Bisa dibayangkan, dari sekian ratus dosen tetap di suatu universitas, rata-rata (bisa jadi maksimal) hanya akan mencapai angka belasan orang sebagai pendaftar bakal calon rektor.
Ya, jika dilihat dari hal tersebut, sebenarnya pemilihan rektor berawal dari suatu hal yang sesederhana itu, asalkan ia memenuhi syarat dan bersedia, setiap dosen tetap memiliki peluang untuk menjadi bakal calon rektor. Namun untuk menuju ke tahap selanjutnya, nasib dari para bakal calon tersebut akan ditentukan oleh orang-orang yang memiliki hak memilih. Lantas, siapa sajakah orang-orang yang mempunyai hak memilih tersebut? Hak memilih tersebut saat ini“hanya” dipegang oleh senat dan wakil dari menristekdikti. Pemilihan calon rektor dilaksanakan melalui pemungutan suara oleh senat dan menteri atau pejabat yang diberi kuasa oleh menteri dalam sidang senat tertutup.
Dalam hal ini, senat memiliki hak suara sebesar65% dan mentri mendapat jatah suara 35%. Senat itu sendiri terdiri dari guru besar, perwakilan dari tiap fakultas dan Emeritus (guru besar kehormatan). Sebenarnya saya juga tidak terlalu tahu mengapa mentri mendapat jatah suara 35% dan senat memiliki jatah suara 65%. Namun berdasarkan analisis saya selaku orang awam, mungkin mentri mendapat hak suara35% dikarenakan memang pada dasarnya PTN adalah milik pemerintah, dimana dalam konteks ini pemerintah yang dimaksud adalah menristekdikti. Maka menjadi hal yang wajar ketik seorang“pemilik” memang sepatutnya mempunyai hak suara akan sesuatu yang dimilikinya. Namun disamping itu, mungkin hal ini juga mempresentasikan akan adanya birokrasi. Sehingga, selain memiliki tugas dan fungsi sebagai pemimpin akademisi dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi serta birokrat kampus, rektor juga memiliki peran tambahan sebagai birokrat yang menjalankan sistem birokrasi di kementrian riset teknologi dan pendidikan tinggi.
Bertitik tolak pada perbandingan hak suara antara mentri dan senat, disini terlihat bahwa senat memiliki hak suara yang lebih dominan jika dibandingkan dengan mentri. Perbandingan yang lebih dominan ini,“diharapkan” melalui hasil suara dari pihak senat inilah akan terpilih rektor yang mampu menjadi “akademisi birokrat” bukan “birokrat akademisi”. Jika setiap senat menyadari betul akan hakikatini, maka harapannya rektor “akademisi birokrat” dapat terpilih. Namun lagi-lagi, sayangnya kebanyakan senat lebih mempertimbangkan dan memilih calon senat yang memiliki basic lebih kuat untuk menjadi birokrat akademisi. Ya,walaupun memang dalam kesehariannya pun seorang rektor mau tidak mau akan lebih terlihat sebagai birokrat, dimana dalam kesehariannya ia harus berkutat dengan tugas-tugas administrative tata kelola universitas. Namun entahlah, benar atau salah, saya hanya orang awam yang mencoba menerka-nerka dari realitas yang terlihat.
Kembali dalam pembahasan siapa saja yang memegang hak suara akan pemilihan rektor ini,sekarang pertanyaannya adalah, lantas bagaimana dengan mahasiswa dan civitas akademika lainnya yang status mereka tidak tergolong dalam daftar pemilih?
Berdasarkan kacamata saya sebagai mahasiswa, ada yang harus digaris bawahi dari limitasi hak memilih yang hanya ditujukan oleh mentri dan senat. Itulah yang menjadi alasan mengapa saya masih merasa janggal dengan prosedur dalam pemilihan rektor tersebut. Selaku mahasiswa, ada sutu harapan dasar yang saya rasa belum dicantumkan dalam peraturan tersebut. Entah hal tersebut hanya merupakan harapan saya pribadi, atau bahkan bisa jadi merupakan harapan seluruh mahasiswa yang belum sempat tersampaikan, baik itu ke telinga pemerintah pusat maupun senat universitas selaku pemegang kuasa penuh dalam pelaksanaan pemilihan rektor. Harapan tersebut adalah adanya hak suara bagi mahasiswa. Hal ini saya sampaikan karena memang hingga detik ini saya masih mendengar celotehan teman-teman mahasiswa yang seolah-olah hak suara mereka dibungkam dalam hajatan besar ini. Padahal, hajatan besar ini nantinya akan memiliki dampak yang begitu besar dalam menjalankan roda kebijakan universitas, karena setiap kebijakan yang diambil rektor pasti akan dirasakan oleh seluruh civitas akadimka kampus, baik itu pihak birokrat,mahasiswa, bahkan staff dan karyawan yang ada di dalamnya.
Memang,hak memilih dengan menggunakan system perwakilan seperti yang telah dijelaskan diatas pada dasarnya lebih sederhana bila dibanding dengan pemilihan langsung oleh civitas academika, baik itu dari segi keefektifan tenaga, waktu, maupun biaya. Dengan system yang seperti ini, maka siapapun bakal calon rektor yang mampu merebut simpati dan empati dari anggota senat dan mentri ataupun wakil kementrian akan dapat dengan mudah memenangkan hajatan besar ini dan melenggang sebagai rektor universitas. Namun,simpati dan empati bisa datang dari mana saja. Ketika hak pilih itu digunakan dengan berdasarkan simpati akan kredibilitas dan kapabilitas yang dimiliki oleh bakal calon tersebut, saya yakin, walaupun hanya melalui hak suara yang terbatas dari senat dan mentri, maka kita pun akan tetap mendapatkan rektor yang acceptable. Dan itulah yang coba saya yakini selama ini.
Namun realitas yang selama ini terjadi, ternyata banyak lingkungan elite kampus yang terintervensi dengan yang namanya politik praktis. Simpati yang bersandar atas kredibilitas dan kapabilitas dapat saja dikalahkan dengan hal-hal lain yang menjadikan terjadinya politisasi pendidikan. Misalnya, berawal dari adanya politik uang dan politik transaksional, bisa saja membuat system tersebut tidak mampu berjalan dengan semestinya. Walau memang kenyataannya tidak ada politik dalam kampus, namun ajang suksesi kepemimpinan di kampus dapat pula menjadi gerbang ajang pertarungan antar kekuatan-kekuatan politik semu dengan kepentingannya masing-masing diluar sana.
Sebenarnya saya tidak pernah ingin berfikiran negative akan pemilihan rektor yang selama ini dilakukan di seluruh universitas di Indonesia, namun yang saya khawatirkan,simpati dan empati itu datangnya dari hal yang tidak diharapkan. Saya hanya takut, jika nanti para bakal calon rektor menggunakan trik-trik politik yang biasa digunakan para “politikus”untuk mengapproach para senator dan kementrian demi mendulang suara. Sehingga yang terjadi, rektor terpilih bukanlah rektor pilihan civitas akademika, namun rektor tersebut merupakan pilihan pemangku kepentingan politik di luar sana.
Jika terus menerus seperti ini, maka jangan heran jika mahasiswa selalu mengkritisi setiap kinerja dan kebijakan yang tengah dilakukan oleh rektor ketika ia menjabat, karena memang dalam keberjalannya terkadang masih banyak kebijakan rektor yang belum sepenuhnya sesuai dengan harapan mahasiswa.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi timbulnya kegaduhan atau kritik tajam yang“seolah” menjadikan mahasiswa sebagai figur yang antipati terhadap setiap kebijakan rektor, seharusnya sejak awal pemilihan rektor, mahasiswa perlu dilibatkan di dalamnya. Hal ini dimaksudkan agar rektor yang terpilih nantinya merupakan rektor pilihan mahasiswa, dimana mahasiswa merupakan rakyat dengan persentase terbesar dalam lingkup universitas.
Perlu kita sadari bahwa setiap permasalahan yang timbul nantinya akan dikembalikan lagi pada aturan hukum yang digunakan sebagai acuan dalam mencari solusinya. Maka, baik sebelum menetapkan mekanisme pemilihan rektor, maupun sebelum menetapkan kebijakan yang dituangkan dalam visi misi dan program kerja jika nanti rektor tersebut terpilih, maka perlu dibentuk sebuah aturan yang benar dan responsive, dimana aturan tersebut memuat dan mengatur keterlibatan serta peran aktif mahasiswa dalam pengambilan suatu keputusan dan penetapan sebuah kebijakan.
Di luar itu semua, tulisan ini saya tulis bukan semata-mata untuk mencari noda hitam dalam mekanisme pemilihan rektor selama ini. Tujuan utama saya membuat tulisan ini adalah untuk menyalurkan suara hati saya selaku mahasiswa (atau bahkan bisa jadi suarahati seluruh mahasiswa juga), agar suara kami juga didengar, sehingga kekhawatiran dan ketakutan kami akan adanya politisasi pendidikan tidak terjadidi kampus kita tercinta ini. Semoga siapapun nantinya yang akan menjadi rektor UNS, beliau dapat membawa UNSmenjadi sebuah universitas yang mampu mensejahterakan kehidupan seluruh civitas akademikanya, serta mampu mengakselerasi reputasi UNS ke tingkat internasional menuju World Class University.
Berbicara mengenai Pemilihan rector, ternyata Universitas Sebelas Maret kita tercinta ini pun juga tengah melaksanakan hajatan besar tersebut. Ya, pergantian rector ini memang selalu diharapkan membawa angin perubahan bagi setiap universitas menuju ke strata yang lebih baik. Dengan adanya pemimpin baru, sudah pasti pula ada harapan baru dari seluruh civias akademika. Namun sayangnya, saya selaku mahasiswa mempunyai kejanggalan dalam pemilihan rector yang selama ini prosedurnya telah ditentukan oleh pemerintah pusat.
Rektor,
adalah sebuah gelar yang disandang bagi pemimpin suatu universitas. Menduduki
jabatan sebagai rektor pada hakikatnya “seharusnya” bukanlah menjadi jabatan
politis. Namun kenyataannya pada hari ini, tahapan dalam merebutkan kursi
rector masih harus melalui mekanisme politis, yaitu dengan adanya hak dipilih
dan memilih. Sebenarnya, letak permasalahannya bukan pada ada atau tidaknya hak
dipilih dan memilih tersebut. Hanya saja politisasi pendidikan yang secara
inplisit terjdi melalui hak-hak itulah yang menjadikan politik menodai
pendidikan di negeri ini.
Pemilihan
rector, terutama untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, hingga saat
ini masih bersandar pada Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan No. 33 tahun 2012, dimana peraturan tersebut akan
dijabarkan dan dijelaskan secara lebih detail dalam Peraturan Rektor yang
dibuat oleh internal masing-masing kampus untuk diimplementasikan.
Berbicara
mengenai hak dipilih, berdasarkan pada Peraturan Rektor Universitas Sebelas
Maret Nomor: 514/UN27/HK/2014 BAB
II pasal 2, pada dasarnyasetiap dosen tetap yang telah memenuhi persyaratan tersebut
mempunyai hak untuk dipilih, dengan catatan ia bersedia menjadi rector yang
dinyatakan melalui sebuah form kesediaan menjadi bakal calon rector di
universitas tersebut. Walau pada
dasarnya, pertarungan dalam merebutkan kursi rector biasanya cenderung berasal
dari dua atau tiga kekuatan yang memang nama-nama mereka telah mengakar kuat
dan tercatat dalam sejarah di universitas terebut melalui rekam jejak dan sepak
terjangnya selama ini. Munculnya nama-nama baru sering tidak mampu menembus
hingga tahap akhir. Pendatang baru bisa dikatakan hanya sebagai pelengkap formalitas
dalam aturan main pemilihan rector tersebut. Itulah mengapa animo peminat untuk
mendaftar dalam pemilihan rector sangatlah sepi. Bisa dibayangkan, dari sekian ratus dosen
tetap disuatu universitas, rata-rata (bisa jadi maksimal) hanya akan mencapai
angka belasan orang sebagai pendaftar bakal calon rektor.
Ya, jika
dilihat dari hal tersebut, sebenarnya pemilihan rector berawal dari suatu hal
yang sesederhana itu, asalkan ia memenuhi syarat dan bersedia, setiap dosen
tetap memiliki peluang untuk menjadi bakal calon rector. Namun untuk menuju ke tahap selanjutnya, nasib
dari para bakal calon tersebut akan ditentukan oleh orang-orang yang memiliki
hak memilih. Lantas, siapa sajakah
orang-orang yang mempunyai hak memilih tersebut? Hak memilih tersebut saat ini
“hanya” dipegang oleh senat dan wakil dari menristekdikti. Pemilihan calon
rektor dilaksanakan melalui
pemungutan suara oleh senat dan menteri atau
pejabat yang diberi
kuasa oleh menteri
dalam sidang senat tertutup.
Dalam hal ini, senat memiliki hak suara sebesar
65% dan mentri mendapat jatah suara 35%. Senat itu sendiri terdiri dari guru
besar, perwakilan dari tiap fakultas dan Emeritus (guru besar kehormatan). Sebenarnya
saya juga tidak terlalu tahu mengapa mentri mendapt jatah suara 35% dan senat
memiliki jatah suara 65%. Namun
berdasarkan analisis saya selaku orang awam, mungkin mentri mendapat hak suara
35% dikarenakan memang pada dasarnya PTN adalah milik pemerintah, dimana dalam
konteks ini pemerintah yang dimaksud adalah menristekdikti. Maka menjadi hal yang wajar ketik seorang
“pemilik” memang sepatutnya mempunyai hak suara akan sesuatu yang dimilikinya. Namun disamping itu, mungkin hal ini juga
mempresentasikan akan adanya birokrasi. Sehingga, selain memiliki tugas dan fungsi
sebagi pemimpin akademisi dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi serta
birokrat kampus, rector juga memiliki peran tambahan sebagai birokrat yang
menjalankan system birokrasi di kementrian riset teknologi dan penidikan tinggi.
Bertitik tolak pada perbandingan hak suara
antara mentri dan senat, disini terlihat bahwa senat memiliki hak suara yang
lebih dominan jika dibandingkan dengan mentri. Perbandingan yang lebih dominan ini,
“diharapkan” melalui hasil suara dari pihak senat inilah akan terpilih rector
yang mampu menjadi “akademisi birokrat” bukan “birokrat akademisi”. Jika setiap senat menyadari betul akan hakikat
ini, maka harapannya rector “akademisi birokrat” dapat terpilih. Namun lagi-lagi, sayangnya kebanyakan senat
lebih mempertimbangkan dan memilih calon senat yang memiliki basic lebih kuat
untuk menjadi birokrat akademisi. Ya,
walaupun memang dalam kesehariannya pun seorang rector mau tidak mau akan lebih
terlihat sebagai birokrat, dimana dalam kesehariannya ia harus berkutat dengan
tugas-tugas administrative tata kelola universitas. Namun entahlah, benar atau salah, saya hanya
orang awam yang mencoba menerka-nerka dari realitas yang terlihat.
Kembali dalam pembahasan siapa saja yang
memegang hak suara akan pemilihan rector ini,sekarang pertanyaannya adalah, lantas
bagaimana dengan mahasiswa dan civitas akademika lainnya yang status mereka tidak
tergolong dalam daftar pemilih?
Berdasarkan
kacamata saya sebagai mahasiswa, ada yang harus digaris bawahi dari limitasi
hak memilih yang hanya ditujukan oleh mentri dan senat. Itulah yang menjadi
alasan mengapa saya masih merasa janggal dengan prosedur dalam pemilihan rector
tersebut. Selaku mahasiswa, ada sutu harapan dasar yang saya rasa belum
dicantumkan dalam peraturan tersebut. Entah hal tersebut hanya merupakan
harapan saya pribadi, atau bahkan bisa jadi merupakan harapan seluruh mahasiswa
yang belum sempat tersampaikan, baik itu ke telinga pemerintah pusat maupun
senat universitas selaku pemegang kuasa penuh dalam pelaksanaan pemilihan
rector. Harapan tersebutadalahadanya hak suara bagi mahasiswa. Hal ini saya
sampaikan karena memang hingga detik ini saya masih mendengar celotehan
teman-teman mahasiswa yang seolah-olah hak suara mereka dibungkam dalam hajatan
besar ini. Padahal, hajatan besar ini
nantinya akan memiliki dampak yang begitu besar dalam menjalankan roda
kebijakan universitas, karena setiap kebijakan yang diambil rector pasti akan
dirasakan oleh seluruh civitas akadimka kampus, baik itu pihak birokrat,
mahasiswa, bahkan staff dan karyawan yang ada di dalamnya.
Memang,
hak memilih dengan menggunakan system perwakilan seperti yang telah dijelaskan
diatas pada dasarnya lebih sederhana bila dibanding dengan pemilihan langsung
oleh civitas academika, baik itu dari segi keefektifan tenaga, waktu, maupun
biaya. Dengan system yang seperti ini, maka siapapun bakal calon rector yang
mampu merebut simpati dan empati dari anggota senat dan mentri ataupun wakil
kementrian akan dapat dengan mudah memenangkan hajatan besar ini dan melenggang
sebagai rector universitas. Namun,
simpati dan empati bisa datang dari mana saja. Ketika hak pilih itu digunakan dengan
berdasarkan simpati akankredibilitas dan kapabilitas yang dimiliki oleh bakal
calon tersebut, saya yakin, walaupun hanya melalui hak suara yang terbatas dari
senat dan mentri, maka kita pun akan tetap mendapatkan rector yang acceptable. Dan itulah yang coba saya yakini selama ini.
Namun
realitas yang selama ini terjadi, ternyata banyak lingkungan elite kampus yang
terintervensi dengan yang namanya politik praktis. Simpati yang bersandar atas
kredibilitas dan kapabilitas dapat saja dikalahkan dengan hal-hal lain yang
menjadikan terjadinya politisasi pendidikan. Misalnya, berawal dari adanya
politik uang dan politik transaksional, bisa saja membuat system tersebut tidak
mampu berjalan dengan semestinya. Walau
memang kenyataannya tidak ada politik dalam kampus, namun ajang suksesi
kepemimpinan di kampus dapat pula menjadi gerbang ajang pertarungan antar
kekuatan-kekuatan politik semu dengan kepentingannya masing-masing diluar sana.
Sebenarnya
saya tidak pernah ingin berfikiran negative akan pemilihan rector yang selama
ini dilakukan di seluruh universitas di Indonesia, namun yang saya khawatirkan,
simpati dan empati itu datangnya dari hal yang tidak diharapkan. Saya hanya takut, jika nanti para bakal calon
rector menggunakan trik-trik politik yang biasa digunakan para “politikus”
untuk mengapproach para senator dan kementrian demi mendulang suara. Sehingga
yang terjadi, rector terpilih bukanlah rector pilihan civitas akademika, namun
rector tersebut merupakan pilihan pemangku kepentingan politik di luar sana.
Jika
terus menerus seperti ini, maka jangan heran jika mahasiwa selalu mengkritisi
setiap kinerja dan kebijakan yang tengah dilakukan oleh rector ketika ia
menjabat, karena memang dalam keberjalannya terkadang masih banyak kebijakan
rector yang belum sepenuhnya sesuai dengan harapan mahasiswa.
Oleh
karena itu, untuk mengantisipasi timbulnya kegaduhan atau kritik tajam yang
“seolah” menjadikan mahasiwa sebagai figure yang antipati terhadap setiap
kebijakan rector, seharusnya sejak awal pemilihan rector, mahasiswa perlu
dilibatkan didalamnya. Hal ini dimaksudkan agar rector yang terpilih nantinya
merupakan rector pilihan mahasiswa, dimana mahasiswa merupakan rakyat dengan
persentase terbesar dalam lingkup universitas.
Perlu
kita sadari bahwa setiap permasalahan yang timbul nantinya akan dikembalikan
lagi pada aturan hukum yang digunakan sebagai acuan dalam mencari solusinya. Maka, baik sebelum menetapkan mekanisme
pemilihan rektor, maupun sebelum menetapkan kebijakan yang dituangkan dalam
visi misi dan program kerja jika nanti rector tersebut terpilih, maka perlu
dibentuk sebuah aturan yang benar dan responsive, dimana aturan tersebut memuat
dan mengatur keterlibatan serta peran aktif mahasiswa dalam pengambilan suatu
keputusan dan penetapan sebuah kebijakan.
Diluar
itu semua, tulisan ini saya tulis bukan semata-mata untuk mencari noda hitam
dalam mekanisme pemilihan rectorselama ini. Tujuan utama saya membuat tulisan ini adalah
untuk menyalurkan suara hati saya selaku mahasiswa (atau bahkan bisa jadi suara
hati seluruh mahasiswa juga), agar suara kami juga didengar, sehingga
kekhawatiran dan ketakutan kami akan adanya politisasi pendidikan tidak terjadi
di kampus kita tercinta ini. Semoga
siapapun nantinya yang akan menjadi rector UNS, beliau dapat membawa UNS
menjadi sebuah universitas yang mampu mensejahterakan kehidupan seluruh civitas
akademikanya, serta mampu mengakselerasi
reputasi UNS ke tingkat internasional menuju World Class University.
#WhoTheNextLeader
Surakarta, 12 Januari 2015
19:18
Comments
Post a Comment