Kau bilang, cinta itu masih sama. Masih seperti tahun-tahun yang telah lalu. Membuncah di ujung ujung temu dan pangkal pisah.
Kau bilang, 11 purnama telah cukup membuatmu tak bisa menahan rindu. Seperti layaknya sepasang kekasih yang ingin segera bertemu. Dimana 30 malam menjadi saksi, bahwa kau adalah satu dari sekian banyak yang ingin menjadi pencuri hati terbaik bagi Rabb mu.
Kau bilang, begitulah seharusnya seorang muslim. Yang senantiasa harus merindukan Ramadhan, baik benar-benar rindu, ataupun hanya pura-pura rindu.
"Jadi, kau benar-benar rindu atau sekedar pura-pura?" Tanyaku kala itu.
"Memangnya, apa bedanya? Aku benar-benar merindukan Ramadhan karna aku adalah seorang muslim. Dan jika memang hanya pura-pura rindu karena euforia yang ada, toh juga tak masalah bukan? Paling tidak, aku telah mencoba menghadirkan cinta untuk Bulan yang penuh rahmat ini.
Yang aku yakini sebagai seoarang muslim, bahwa Rasulku pun juga begitu. Ia begitu merindukan Ramadhan dengan segala kebaikan yang telah Allah selipkan didalamnya. Karena tugasku hanya taat, maka aku pun hanya berusaha mengikuti apa-apa yang telah diajarkan oleh panutanku. Berusaha menghadirkan rindu untuk Bulan yang suci ini.
Biar bagaimanapun, aku adalah seorang muslim yang masih terus belajar dan berproses menjadi mukmin yang baik."
"Jadi, aku boleh jika hanya pura-pura rindu?"
Dan kau tersenyum. "Boleh. Tapi jika benar-benar bisa, mengapa harus berpura-pura?"
"Karena aku tak pernah bisa menangis saat Ramadhan pergi. Pun juga tak pernah hanyut dalam sukacita saat ia datang kembali. Aku tak pernah merasakan getaran yang sama sepertimu. Mungkin aku bukan orang alim!"
Senyummu tersimpul kembali, "Bukan, bukan begitu. Mungkin saat ini imanmu hanya sedang turun. Mungkin kau sedang lebih sibuk dengan perkara-perkara duniawi mu. Jika memang begitu, yang kau perlukan hanya menghadirkan iman itu kembali. Jika kau mau, kau bisa mencoba dengan menambah jumlah rekaat dhuhamu, atau sejenak memanjangkan sujudmu di sepertiga malam terakhir. Cobalah untuk menangis seraya memanggil namaNya dalam lubuk hatimu yang terdalam. Cobalah ingat-ingat kembali betapa besar kecintaanNya pada mu. Maka tumbuhkanlah pula rasa cinta terbaikmu untukNya. Sebab kecintaan yang paling haqiqi adalah ketika kita mencintai sesuatu di dunia ini karena kecintaan kita kepadaNya."
"Tapi ..."
"Tapi terkadang, kita sendiri lah yang terlebih dahulu menutup pintu hati kita ketika hidayah itu datang. Kita egois memikirkan diri kita sendiri. Terlalu banyak mencari alasan untuk bersembunyi dan menolak cahaya yang hendak Rabbmu berikan. Apalagi kau tau kan, bahwa Bulan Ramadhan ini adalah bulan penuh ampunan. Dan dibulan ini pula, setan-setan telah dibelenggu olehNya. Maka, sejatinya musuh kita hanyalah diri kita sendiri. Tergantung bagaimana kita hendak menyikapi hidayah ini. Apakah kau mau menjemputnya, atau kembali kau tinggal pergi lagi dan lagi."
Ahh..Aku benar-benar rindu. Ramadhan aku rindu, Rabbi aku rindu
Oh Allah, sebab ibadah bukanlah masalah perasaan, bantulah aku untuk dapat menjadikan perasaan sebagai makmum atas imam bernama iman. Jika iman telah menjadi yang pertama dan utama di dalam hati. Dan aku percaya bahwa soal perasaan akan bisa disiasati.
1 Ramadhan 1439 H
Masjid As-Salam, Surakarta
20.41
Cos Ma'arif H. L
Cos Ma'arif H. L
Walaupun judulnya ngabuburit, sepertinya tulisan-tulisan Ramadhan ini (mungkin) tidak selamanya di posting pada waktu-waktu menjelang berbuka puasa. Sekapan-kapannya aja yaa. Hihiii 😁
#tokohfiktif, anggap saja percakapan diri sendiri dan hati.
Comments
Post a Comment