Aku masih ingin berbicara tentang rindu dan cinta.
Tentang bagaimana setiap kenangan bersama (si)apapun yang kau cinta pasti akan begitu lekat untuk dikenang.
Yang membuatmu ingin mengulangi setiap potongan kisah itu lagi dan lagi.
Seperti halnya memori-memori masa kecil kita kala itu.
Yang menjadi alasanku pertama kali menjatuhkan hati padanya.
Berawal dari kisah dan perkara yang sederhana. Sangat sederhana.
Hatiku jatuh, cintaku tumbuh, dan rinduku semakin berlipat.
Hingga pada akhirnya aku benar-benar cinta.
Dan begitulah, tentang bagaimana cintaku pada Ramadhan bermula.
Dan ku yakin, kau pun juga begitu kan (?)
Kala itu, kita begitu mencintai Ramadhan tersebab perkara-perkara kecil yang mungkin hanya akan kita temui di Bulan Ramadhan.
Seperti buka bersama selepas TPA, mencatat kultum tarawih pada buku Ramadhan, mengantri takjil sembari menunggu tandatangan ustadz, tadarus di masjid hingga larut, jalan-jalan pagi dan bermain petasan selepas sholat subuh, hingga obor bambu di penguhujung Ramadhan yang menandakan bahwa esok kita sudah boleh memakai baju baru, makan snack yang banyak, dan juga mendapat uang fitrah untuk tambah jajan sampai puas.
Bagi kita di masa lalu, begitulah definisi bahagia di Bulan Ramadhan.
Cinta itu masih utuh.
Tidak berkurang barang seinchi.
Bahkan semakin hari ia semakin tumbuh sembari kita terus memupuknya.
Namun hari ini kita bukanlah bocah kecil lagi. (Seharusnya) cinta kita lebih mendewasa.
(Seharusnya) cinta kita tak sekedar cinta dari bias permukaan saja.
(Seharusnya) cinta kita tak sekedar dalam batas ueforia kata saja.
(Dan seharusnya) definisi bahagia, rindu dan cinta kita sudah berbeda.
Tak sekedar apa, namun juga bagaimana.
Sebab yang kita tau, definisi cinta adalah memberi.
Maka bila kita cinta, sudah seharusnya kita memberikan apapun yang terbaik untuk yang kita cintai.
Kita selalu mengaku cinta pada Ramadhan.
Bagi kita yang sudah dewasa, cinta seharusnya sudah tak lagi sekedar sebagai kata sifat, namun juga kata kerja.
Maka bila kita cinta, segala sesuatunya harus di upayakan, harus diperjuangkan.
Kita selalu mengaku cinta pada Ramadhan. Bila sudah begitu, maka sudah pasti tak akan tanggung-tanggung pula kita memberikan yang terbaik untuknya. Benar kan?
Misalnya...
Misalnya...
Menjaga sholat beserta rukun-rukunnya, tidak hanya sekedar asal mendirikannya saja.
Membaca, mentadzaburi, serta mengamalkan firmanNya, tidak hanya sekedar perkara semakin cepat semakin banyak.
Memberikan infaq atau shodaqah terbaik dengan setulus-tulusnya, dan bukan karena selalu ada kotak infak yang berputar saat jeda sholat isya' dan tarawih itu, yang kita sungkan bila tidak memasukkan uang seperti yang dilakukan orang lain di kanan kiri kita.
Lagi-lagi, Bapak pernah berpesan.
Merawat Ramadhan itu gampang-gampang susah, susah-susah gampang.
Hal utama yang dibutuhkan adalah istiqomah.
Di awal Ramadhan, mudah saja iman kita naik begitu cepat. Melejit.
Namun selepas pekan pertama, kedua, ketiga, dan penghujung ramadhan (?)
Apa kabar duhai iman??
Maka sebenarnya yang paling penting, bukan perkara siapa yang hafalannya bertambah paling banyak.
Bukan yang jumlah rekaat sholat sunnahnya lebih besar.
Bukan pula yang khataman qur'annya paling cepat.
Juga bukan ziswaf nya yang paling banyak.
Bukan. Bukan hanya itu.
Sangat baik jika kesemuanya dapat seperti itu.
Namun akan jauh dan jauh lebih baik lagi jika semua yang telah di awali dapat dilakukan secara istiqomah.
Tidak hanya selama Ramadhan saja.
Namun juga bulan-bulan setelahnya hingga kita dipertemukan kembali dengan Ramadhan.
Untukmu hati yang baik, semoga Allah selalu menjaga ghirah kita pada Ramadhan dan dien ini.
Selamat mendewasakan cinta.
More than words is all you have to do to make it real~
2 Ramadhan 1439 H
Masjid As-Salam Surakarta
15.43Cos Ma'arif H.L
Comments
Post a Comment