Masih dengan rasa yang sama. Masih dengan resah yang sama. Terlebih semenjak celetuk senja salah seorang teman kemarin sore. Juga very long post chat salah seorang sahabat di sebuah group wa kala fajar pagi ini.
Terkadang, kau tak bisa mengubah arah angin sesuka hatimu. Sekeras dan sekuat apapun kau mencoba. Angin akan berhembus mengikuti arus yang kau sebut dengan takdir.
Dalam hidup, kita akan sering menemukan fase-fase equilibrium. Sebuah fase tepat dimana kau hanya akan mampu memilih untuk berjalan di tempat. Tidak dengan yang lain. Tidak melangkah, tidak berpindah, tidak berjalan, apalagi berlari. Sebab setiap inci yang dikorbankan justru akan membuat kita semakin tak menjadi apa-apa. Lebur dalam sebuah ketidakberartian.
Mungkin bagi sebagian orang, hidup adalah sebuah kedinamisan. Tidak berpindah akan membuat kita terlindas, mati dan tergantikan. Tapi nyatanya, tidak dengan kita. Bagi kita yang terjebak dalam fase statis ini, berjalan ditempat adalah pilihan terbaik. Tidak mundur, tidak pula maju.
Bagi kau yang tak setuju dengan pendapatku diatas, mungkin kau adalah orang-orang beruntung. Ya, memang fase ini bukanlah milik setiap jiwa. Sekali lagi, fase ini hanya dimiliki oleh kami yang tengah berada pada fase equilibrium. Fase equilibrium, fase kesetimbangan. Namun dalam perkara ini, nyatanya titik setimbang tidak selamanya menjadi titik keidealan.
Apakah kau pernah merasakan? Bagaimana resahnya rasa saat kau dipaksa mundur ketika hendak menuju titik kulminasi dalam sebuah jalan juang?
Apakah kau pernah merasakan? Bagaimana inginnya sebuah jiwa yang fakir ilmu dipaksa berhenti dan memadamkan harap ketika hendak berproses bersama sebuah lingkar kebaikan.
Apakah kau juga pernah merasakan? Bagaimana irinya sebuah hati, disaat kau tahu bahwa sahabat juangmu yang selama ini membersamai masih terus berjalan untuk dibina, sedang engkau harus tertinggal untuk tidak mendapatkan apa-apa.
Dan apakah kau pernah merasakan? Bagaimana tak berdayanya kita ketika yg menghentikan itu semua bukanlah dari mereka, kelompok musuh yang secara tegas ingin menghancurkan jalan juang kita?
Dan apakah kau pernah merasakan? Bagaimana sesaknya hati ketika terhentinya langkahmu justru tersebab oleh orang-orang yang paling dekat kita.
Orang yang paling besar rasa cintanya untuk kita. Yang paling tak ingin engkau tersesat. Yang paling tak ingin engkau berada dalam genggaman orang yang salah. Yang paling tak ingin engkau tidak mendapatkan ridhoNya. Yang paling tak rela permatanya berada di jalan salah. Yang paling besar rasa cemasnya, yang paling tulus rasa khawatirnya.
Jika begini, kita bisa apa??? Bukankah tak ada yang harus disalahkan???
Sungguh, aku tau betul. Orang-orang ini adalah orang-orang yang baik. Saangaat baik. Yang tak pernah diragukan belas kasihnya, yang tak pernah padam lentera cintanya. Dan aku bisa menjamin itu.
Hanya saja, saat ini kami terjeda dalam sebuah ruang paham yang berbeda. Yang diantaranya terletak sekat dinding yang telah kokoh terbangun sejak lama.
Mendobrak paksa untuk merobohkannya hanya akan memicu amarah sang empunya.
Sebaliknya, berjalan mundur hanya akan menambah jeda. Jeda antara aku dan sebuah lingkaran yang selama ini juga mengajarkanku untuk berproses menjadi pribadi yg jauh lebih baik. Lingkaran yang telah mengantarkanku sampai di titik ini. Lingkaran yang telah memeprtemukanku dengan para pejuang-pejuang tangguh.
Begitu pula disisi yang lain, aku juga sangat yakin. Bahwa lingkaran ini adalah lingkaran yang baik. Atau setidaknya, lingkaran ini adalah lingkaran yang tersusun dari energi-energi yang positif. Kumpulan dari jiwa-jiwa yang ingin menjadi baik.
Hmm.. Dilema bukan?? Haruskah aku mendobrak benteng pertahanan? Atau mundur dan menghilang dari jalan juang?
Bagaimana? Kau tidak bisa membayangkan ketika harus menjadi aku bukan? Atau masih berprinsip, bahwa pilihanku untuk berjalan ditempat bukanlah pilihan terbaik???
Yaa.. memang sekali lagi, fase ini hanya milik kami. Kami yang tengah berada pada fase equilibrium.
Lagi-lagi.. maju bukanlah pilihan yang tepat. Sedangkan mundur adalah pilihan bagi orang2 yang patah arang.
Maka, adakah pilihan yang lebih baik dari pada jalan ditempat
Yaa.. AKU HANYA BISA SEKEDAR BERJALAN DI TEMPAT. Tidak kurang, tidak juga lebih. Aku tidak diam, tapi aku hanya berjalan di tempat. Berjalan di tempat sembari mengupayakan apa yang masih bisa diupayakan.
Berjalan di tempat sembari menanti sebuah moment yang tepat. Saat hati dan hati sama-sama dapat memahami.
Berjalan di tempat, sembari melangitkan doa, agar kelak suatu hari nanti, hati ini dipautkan olehNya pada hati yang memiliki satu tujuan dan visi yang sama.
Hati yang dimiliki oleh jiwa yang mampu mengajak kembali melanjutkan perjalanan.
Hati yang dimiliki oleh jiwa yang mampu membuka kunci ruang pemahaman yang tersekat. ( Sumpih!!! Dan ini serius, bukan sekedar menyoal baper tak beralasan)
Yaa.. Semoga saja…
salam rindu dari jiwa yang tengah merindu
salam rindu dari jiwa yang harus terhenti
salam rindu dari jiwa yang ingin kembali
salam rindu dari jiwa yang masih menanti
salam rindu dari jiwa yang mungkin saat ini sedang tidak baik-baik saja
Yaa Muqollibal Qulub, tsabbit qalbii ‘ala Diinik
Repost from Tumblr
15.38
Cos Ma'arif H.L
Comments
Post a Comment