Bagaimanapun,
menjadi perempuan adalah peran yang penuh dengan kemuliaan. Terlebih menjadi
perempuan yang hidup di era milineal seperti ini. Banyak sekali tantangannya.
Sudah pasti bukan perkara yang sederhana. Gampang-gampang susah, susah-susah
gampang.
Setiap
masanya, perempuan selalu dihadapkan dalam sebuah pilihan. Memilih untuk
memerankan figur seperti apa, dan menjalankan peran yang bagaimana. Bagi saya,
semua perempuan cantik dengan masing-masing perannya. Terlebih bila ia seorang
muslimah.
Entah
menjadi sosok yang anggun, lembut, pengasih penyang, dan berperan sebagai
konseptor dibalik layar; ataupun menjadi sesosok yang tangguh, berani, senang
dengan hal-hal yang menantang, dan menjadi figur di garis depan; bagiku
keduanya sama-sama cantik. Ya, setiap perempuan cantik bila ia berperan.
Beberapa
hari yang lalu, selasar masjid itu menjadi pendengar yang baik bagi sekelompok
perempuan yang tengah membicarakan tentang perannya. Berawal dari peran seorang
perempuan ketika ia menjadi anak, istri, bahkan saat kelak ia menjadi seorang
ibu.
Diskusi
itu bermula dari sebuah pertanyaan, tentang mimpi-mimpi apa yang ingin kita
wujudkan pada fase pasca kampus ini. Ada yang ingin menjadi ini, ada yang ingin
menjadi itu. Ada yang ingin begini, ada yang ingin begitu. Banyak sekali.
Mimpi-mimpi itu begitu mulia. Semoga Allah meridhoi kesemuanya yaa, sholihah~
Semakin
lama, diskusi itu pun semakin menarik. Hingga pada suatu ketika terlontar
sebuah pertanyaan yang menjadikannya klimaks pada lingkaran kami sore itu.
“Di
tantangan zaman yang seperti ini, nanti kalau sudah menikah, peran mana yang
akan kalian ambil? Ingin menjadi wanita karir namun juga tidak mengabaikan
peran utamanya sebagai seorang istri dan ibu, atau ibu rumah tangga yang akan
siap siaga 24 jam untuk mendidik putra-putrinya dan selalu menjadi pendamping
setia bagi suaminya?”
Jawaban
kami beragam. Diantara kami, banyak yang ingin stay at home saja; menjadi
sebaik-baik madrasatul ‘ulaa bagi para muharrik kecilnya kelak, juga menjadi
sebaik-baik penyempurna bagi suaminya. Namun tidak sedikit pula yang tak
semudah itu ingin melepaskan karirnya. Menjadikan profesinya sebagai lini
dakwah adalah salah satu cita-cita besarnya. Namun terlepas dari itu semua,
setiap dari kami paham. Seingin apapun kita berkarir kelak, jawaban kami
sama-sama bermuara pada perihal yang sama. “Tapi ya.. Tetap harus ikut apa yang
diinginkan suami sih.. Sebab keridhoan Allah pada perempuan yang telah menikah,
terletak pada keridhoan suaminya.” Kata mereka, begitulah konsekuensi menjadi seorang
perempuan, haha~
Point
diskusi sebenarnya tidak hanya sampai pada titik itu saja. Bukan sebatas
perkara apakah kita ingin melanjutkan karir, atau menjadi seorang ibu rumah
tangga. Namun bagaimana tentang peran kita sebagai muslimah, yang seharusnya tidak
memikirkin kehidupan pribadinya saja, namun juga tak lupa untuk memikirkan
umat.. Uhh, berat yee.. Emang berat, siapa suruh mau jadi seorang muslimah!
Begitu candanya sore itu, haha~
Memutuskan
melanjutkan karir atau menjadi ibu rumah tangga, sebenernya menjadi pilihan
masing-masing muslimah itu sendiri (dan atas seizin suami tentunya, jika ia
telah menikah). Tak ada yang lebih buruk diantara keduanya, asalkan tujuan
utamanya adalah untuk meraih keridhoan Nya.
Jika
saya pribadi, hingga detik ini, saya masih ingin menjadi sosok perempuan yang
kelak tidak di rumah saja. Ingin sekali menjadi dosen atau peneliti yang bisa
memberikan manfaat lebih luas untuk bangsa, negara, dan agama ini. Seperti
halnya Mbak Dewi N. Aisyah. Seorang muslimah muda yang saat ini sedang menempuh
S3 nya di UK. Perannya sebagai ibu bagi si sholihah Najwa, dan seorang peneliti
menjadi bukti, bahwa tak selamanya berkarir itu harus mengorbankan kewajibannya
untuk menjadi madrasah bagi anak-anaknya. Perannya menjadi seorang ibu dan peneliti
mampu menjadi inspirasi bagi para muslimah di seluruh penjuru dunia.
Namun
semuanya kembali lagi pada ketetapanNya. Yang terbaik tetaplah apa yang telah
Allah gariskan. Toh sebenarnya, bagi saya pribadi masalah berkarir atau di
rumah, itu masalah nanti. Tergantung bagaimana kelak izin suami.
Tetapi
yang pasti, menjadi muslimah harus berkarya. Yang difikirkan tidak hanya
tentang dirinya sendiri, tapi juga untuk ummat. Ingat, kali ini saya memakai
kata “berkarya”, bukan berkarir. Sebab berkarya tak melulu harus melalui karir
dan profesi. Sebab sebenarnya dakwah tak sesempit di ranah profesi saja.
Bila
tidak bisa berdakwah pada lini profesi, maka wajib bagi seorang muslimah untuk
menjadi sayap-sayap dakwah di lingkungannya. Mengelola rumah belajar/sekolah
formal ataupun non formal, menjadi geng ummahat yang inspiratif di
lingkarannya, menjadi penulis, ataupun menjadi pegiat kegiatan sosial misalnya.
Intinya,
menjadi seorang muslimah adalah hal yang mulia. Entah kelak ia akan mengambil
peran apapun, asal yang ia lakukan diridhai Allah, itu adalah peran terbaik
baginya. Apapun peran dan kisah kita sebagai muslimah, semoga itulah jalan yang
telah Allah pilihkan untuk menuju syurgaNya. Yang harus ditempuh dengan
berlapang hati, juga ikhlas dan bahagia.
Entah
berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, yang pasti kepakkan sayap-sayapmu harus
lebar. Kebermanfaatanmu tidak boleh berhenti pada lingkaran kecil bahkan dirimu
saja. Kebaikanmu harus meluas. Dan yang paling penting, imanmu jangan sampai
lepas.
Selamat
menjadi muslimah! Selamat menjalankan peran!! Saling mendoakan yaa, semoga
Allah senantiasa memampukan. Barakallahu fiikum, sholihah~
Surakarta, 10 Maret 2018
21:45
Cos Ma’arif H. LAICE Squad |
Comments
Post a Comment