“Sekarang
martabat negara tampak sunyi sepi, sebab rusak pelaksanaan peraturannya karena
tanpa teladan. Orang meninggalkan
kesopanan, para cendekiawan dan para ahli terbawa hanyut ikut arus dalam jaman
bimbang. Bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya. Kesengsaraan dunia karena tergenang berbagai
halangan” Ranggawarsita (Kuntowijoyo, 1987:9)
Berangkat
dari sebuah keprihatinan ketika masa globalisasi menjadi goncangan awal
masyarakat beserta budayanya. Realitas
demikian merupakan masa dimana jaman tengah mengalami ketimpangan. Pemikiran dan perilaku anak manusia mulai
mengkristal dengan megagungkan pola yang serba instan. Transformasi budaya
besar-besaran terjadi dan anak bangsapun kini mulai kehilangan jati diri.
Kondisi
tersebut tidak lagi dirasa asing oleh bangsa ini ketika revolusi kultural tidak
terintegrasi dengan baik. Dampaknya, timbul kemulti-tafsirn yang selanjutnya
mengikis karakter bangsa. Potret demikian harusnya mampu membuka mata kita
bahwa sejatinya pergesaran telah benar-benar terjadi di negeri ini. Terlebih
ketika kita menilik kondisi bangsa dengan menggabungkan cermin kultural dalam
sebuah paralelisme sejarah dulu dan kini. Keduanya bagai cermin yang bertolak belakang
dan tidak saling terikat satu sama lain.
Potret
Pendidikan Indonesia
Semiawan
(1988) mengatakan proses pendidikan terkait erat dengan pembangunan bangsa. Kalimat tersebut akan mengalami perluasan
makna yang mengetarkan nurani ketika disatukan dengan tujuan pendidikan
nasional, “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Implikasi yang dihasilkan adalah proses
pembangunan merupakan awal dari pembentukan peradaban bangsa, peradaban
Indonesia.
Suatu
bangsa dikatakan memiliki peradaban karena telah mengalami proses evolusi
kebudayaan di seluruh bidang yang dimulai dari pendidikan. Bila selama ini kita hanya mengerti tentang
peradaban Eropa, peradaban Romawi kuno, dan Peradaban Yunani, mengapa tidak
pernah terbesit di pikiran kita tentang peradaban Indonesia.
Memasuki
era modernisasi ini, sebuah negara kecil bernama Finlandia telah lebih dahulu
meninggalkan kita dengan berani mengusung peradabannya di kancah internasional.
Finlandia mampu mengambil langkah untuk menciptakan pakem pendidikan di luar
sistem dunia yang menonjolkan identitas kebangsaannya. Mereka menerapkan konsep
budaya kolaborasi (team work) dan kepercayaan (trust) bagi subjek
pendidikannya. Mereka lebih percaya dengan sistem portofolio yang mensyaratkan
pemahaman holistic untuk mengetahui kemampuan siswa.
Lain
halnya dengan Indonesia, pola pikir masyarakat Indonesia yang instan telah
terbentuk dari proses penetrasi budaya sejak zaman penjajahan silam. Masyarakat
yang ketika itu masih tradisional harus dipaksa untuk menerima budaya asing
yang serba cepat dan dinamis. Gesekan-gesekan antara nilai kearifan lokal dan
kebutuhan hidup seringkali mewarnai kehidupan masyarakat. Belum lagi dengan
adanya era globalisasi yang menekankan pada pertumbuhan laju teknologi. Gesekan
nilai-nilai kearifan lokal melalui kemajuan dalam berbagai bidang yang tidak
terorganisir inilah yang mampu menghantam kestabilan prinsip di segala bidang
kehidapan bangsa Indonesia. Maka menjadi hal yang wajar ketika akhirnya
terbentuklah budaya berfikir serba instan, sebuah pola hidup yang berawal dari
kekeliruan persepsi modernisasi. Dinamika hidup yang dianggap harus berjalan
cepat dan dinamis, namun dalam pelaksanaannya hanya sedikit yang mau berproses
dengan alur yang sinergis.
Surakarta, 16 Februari 2015
20:42
Cos Ma’arif H. L
Comments
Post a Comment