Dilema Pendidikan Indonesia
Pemikiran instan masih menjadi pokok
permasalahan di negeri ini. Tak jauh berbeda dengan beberapa aspek kehidipan
lainnya, aspek pendidikan di negeri inipun juga telah terjangkit virus
pemikiran instan seperti yang telah dipaparkan diatas. Polemik kurikulum yang
terkesan “ganti menteri ganti kurikulum” membuat pendidikan tidak berjalan
optimal. Kurikulum, merupakan
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU nomor 20 tahun 2003; PP nomor 19
tahun 2005)
Terlebih lagi akhir-akhir ini Kemendikbud
selaku punggawa utama pendidikan Indoensia direpotkan kembali dengan adanya
dualisme kurikulum. Kebijakan ini
memberikan pilihan kepada sekolah untuk tetap melanjutkan pelaksanaan Kurikulum
2013 bagi sekolah yang telah melaksanakan kurikulum ini lebih dari tiga
semester, dan pengembalian kurikulum pada KTSP bagi sekolah yang baru saja
mengimplementasikan pembelajaran menggunakan Kurikulum 2013. Fenomena ini tentu menjadi suatu kebimbangan
tersendiri bagi pelaksana pendidikan, khususnya bagi para guru yang memang
secara langsung terjun dalam tataran teknis.
Selain itu, polemik pengadaan UN pun juga
santer mewarnai kisruh pendidikan di negeri ini. Ujian Nasional dipandang tidak
relevan untuk mengevalusi hasil belajar serta menjadi indikator kelulusan
siswa. Pengadaan Ujian Nasioanal yang
hanya mencerminkan hasil belajar siswa, dan mengesampingkan proses yang telah
ditempuh siswa sebelumnya. Akibatnya,
mayoritas siswa Indonesia belajar bukan karena menuntut ilmu, tapi hanya
sekedar untuk mencapai target lulus ujian nasional. Hal inilah yang menjadikan
perkembangan keilmuan dan kepribadian siswa terhambat. Tanpa adanya tindak lanjut yang positif akan
polemik ini, tidak mustahil jika sistem pendidikanlah yang akan menghantarkan
bangsa Indonesia di jurang kehancuran.
Apabila fenomena ini hanya dibiarkan, maka sejatinya pendidikan
Indonesia mengahasilkan pelajar yang instan dan sentiment pada negerinya
sendiri.
Dampak dari proses berfikir instan inilah yang
menyebabkan siswa kurang bisa mengeksplorasi kemampuannya. Hal ini bisa dilihat dengan ketika siswa
telah memasuki dunia kerja yang membutuhkan kecakapan, kreatifitas, serta
penguasaan teknologi terapan. Jika
kondisi siswa minim pengalaman dan pengayaan, bagaimana mungkin mereka akan mendapatkan
pekerjaan layak di masa mendatang.
Berdasarkan pada data BNPT2TKI yang menyebutkan bahwa per Maret 2014,
jumlah total TKI di luar negeri sebanyak 6,5 juta jiwa. Hal inilah yang menjadikan Indonesia belum
mampu menghasilkan tenaga kerja yang terampil dari segi karakter dan
kepribadian serta softskill yang harus dimiliki seseorang ketika ia telah masuk
dalam dunia kerja. Berdasarkan fakta
yang ada sudah menjadi bukti nyata bahwa pendidikan instan tidak mampu
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Karakter, miris ketika kita melihat kondisi yang tengah
terjadi pada hari ini. Dewasa ini, bangsa kita tengah mengalami krisis
karakter. Hal tersebut dapat dilihat dari meningkatnya angka kejahatan di
segala bidang kehidupan. Budaya korupsi yang seakan telah mengakar pada
kehidupan bangsa, mulai dari rakyat hingga pejabat tinggi negara ini.
Penyalahgunaan dan peredaran narkoba yang semakin menggurita, tawuran antar
pelajar dan berbagai kejahatan yang telah menghilangkan rasa aman setiap warga,
cukup menjadi
bukti nyata bahwa pendidikan kita selama ini belum cukup berhasil dalam
mencetak generasi intelek sekaligus berakhlak mulia.
Sejauh ini pendidikan di Indonesia hanya sekedar berorientasi untuk melahirkan ahli atau “mafia” matematika, fisika, dan kimia, sehingga
lulusan pendidikan di Indonesia kurang memiliki karakter.
Banyak keluhan masyarakat tentang menurunnya tatakrama, etika dan kreativitas
karena melemahnya pendidikan budaya dan karakter bangsa yang nyaris membawa bangsa ini pada
kehancuran. Ibarat pisau yang tajam di mana kebermanfaatannya
bergantung pada siapa pemakainya. Bagi seorang penjahat, pisau yang tajam akan
digunakannya untuk membunuh. Namun
sebaliknya, bagi seorang juru masak, pisau yang tajam akan ia gunakan untuk
membuat hidangan yang lezat. Begitu pula
dengan kecerdasan. Kecerdasan
intelektual tanpa diimbangi dengan akhlak yang mulia ibarat pisau yang
digunakan oleh penjahat, namun sebaliknya, kecerdasan intelektual dengan
diiringi kemuliaan akhlak akan membawa kemaslahatan bagi khalayak umum.
Surakarta, 16 Februari 2015
21:03
Cos Ma’arif H. L
Comments
Post a Comment